Sunday, December 21, 2008

REFORMASI BIROKRASI

REFORMASI BIROKRASI
SEBAGAI SARANA UNTUK PEMBERANTASAN KORUPSI
DI INDONESIA
oleh : Andhyka Muttaqin *

I. Pendahuluan
Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Disamping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi (clean government) dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governce). Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan.
Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan korupsi juga ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang pertu diperhitungkan dalam kebijakan “reformasi birokrasi” adalah komitmen, kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan negara - baik unsur aparatur negara maupun warga negara dalam mewujudkan clean government dan good governance, serta dalam mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam negara dan bermasyarakat bangsa. Yang perlu diingat adalah bahwa semuanya itu berada dan berlangsung dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI), dan masing-masing memiliki tanggung jawab dalam mengemban perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan NKRl. Dapatkah kita memikul tanggung jawab tersebut?
Topik yang dibahas dalam tulisan ini adalah “Reformasi Birokrasi Sebagai Sarana Untuk Pemberantasan Korupsi Di Indonesia”. Topik tersebut menunjukkan birokrasi merupakan faktor atau pun aktor utama baik dalam terjadinya korupsi maupun dalam upaya pencegahan ataupun pemberantasan korupsi, meskipun kita mengetahui bahwa masalah korupsi bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi, tetapi juga berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan “reformasi birokrasi” ini sekalipun secara konseptual kita dapat membatasi masalah korupsi dalam lingkup “urusan-urusan publik yang ditangani birokrasi”, namun secara aktual, interaksi birokrasi dengan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan. Dalam hubungan “interaksi dengan publik utamanya dalam pelayanan publik” itulah korupsi bisa berkembang pada kedua pihak, dalam dan antar birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat, dengan jenjang yang panjang dan menyeluruh. Sebab itu, usaha pemberantasan korupsi perlu dilihat dalam konteks “reformasi birokrasi”, bahkan dalam rangka “reformasi sistem administrasi negara” secara keseluruhan. Dalam hubungan itu, agenda utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah: terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas korupsi, peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara, berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari etika, semangat pelayanan dan pertanggung jawaban publik, serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Dalam hubungan tersebut, dari sudut disiplin dan sistem administrasi, negara good governance dapat dipandang merupakan paradigma yang antara lain berisikan konsep yang mencakup 3 (tiga) aktor utama, yaitu pemerintahan negara dimana birokrasi termasuk di dalamnya, dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha negara), dan masyarakat. Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa tersebut memiliki posisi, peran, tanggung jawab, dan kemampuan yang diperlukan untuk suatu proses pembangunan yang dinamis dan berkelanjutan. Dalam konsep good governance ketiga aktor dalam sistem administrasi negara tersebut ditempatkan sebagai mitra yang setara. Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan, serta memudarkan masa depan bangsa. Dalam hubungan itu, korupsi tidak hanya mengandung pengertian penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan asset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja atau pun terpaksa.
Kesulitan paling besar untuk mempercepat solusi permasalahan bangsa Indonesia disebabkan oleh minimnya komitmen politik dan kompetensi untuk melakukan reformasi birokrasi. Bahkan birokrasi masih belum dianggap sebagai faktor kunci penggerak pembangunan bangsa. Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang syarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Sehingga dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Politik reformasi birokrasi adalah kepemimpinan politik yang kuat terhadap visi, komitmen, dan kompetensi untuk menjadikan birokrasi yang baik, bersih, dan berwibawa. Kepemimpinan politik yang kuat merupakan faktor terpenting keberhasilan reformasi birokrasi. Oleh karena itu, reformasi birokrasi tidak mudah dilakukan. Politik reformasi birokrasi adalah hal yang kompleks karena melibatkan kepentingan politik dalam birokrasi. Padahal dalam berbagai praktik dan teori, reformasi birokrasi adalah proses politik yang membutuhkan dukungan politik dari para pejabat politik yang dipilih (elected official).

II. Tinjauan Teoritis
a) Reformasi Birokrasi
Evers (1987) mengelompokkan birokrasi ke dalam 3 pola, (a) Weberisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat; (b) Parkinsonisasi yang melihat birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri dan (c) Orwelisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau perlu dengan paksaan (Soesilo Zauhar, 2006). Ada beberapa alasan kenapa bentuk ideal birokrasi rasional jarang (tidak) nampak dalam praktek sehari-hari. Pertama, manusia maujud tidak hanya untuk organisasi, kedua, birokrasi tidak kebal terhadap perubahan, Ketiga, birokrasi dirancang memang untuk untuk orang "rasional", sehingga dalam realitas mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk fungsi keseharian organisasi (Perrow, 1979). Atas dasar itu maka Bendix (1957) berkesimpulan bahwa birokrasi rasional lebih cocok dan dapat hidup di negeri barat daripada di negeri timur (Soesilo Zauhar, 2006)

Eisenstadt (1959) telah mengelompokkan gagasan birokrasi ke dalam 2 pandangan, yaitu:
1. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mewujudkan lesan-lesan tertentu;
2. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat untuk mempeoleh, mempertahankan danmelaksanakan kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (agent of change ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsive (Agus Suryono, 2005)
Dalam menyusun arah reformasi birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya perubahan lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarakat universal, seperti yang dikemukakan berikut ini
Secara sederhana reformasi birokrasi dapat disimpulkan oleh Jocelyne Bourgon dalam artikelnya yang berjudul A comprehensive framework for public administration reforms adalah sebagai berikut :
1) Issues related to the management of the organizational structure, that is the types of organizations to be used, and the distribution of activities and responsibilities across public administration bodies.
2) Issues related to the management of the public administration network, and especially the management of contractual relations and of public procurement of services.
3) Issues related to the management of human resources, taking the heterogeneity of activities and organizations into account, and focusing on performance issues.
4) Issues related to the management of information flows and resources, and including the protection of the integrity of citizens and enterprises.
5) Issues related to the management of citizen relations and citizen involvement in the deliberations of governments and public administrations
6) Issues related to the management of trust and confidence, including transparency, access to information, and conflicts of interest.
b) Teori Korupsi
Robert Merton terkenal dengan "meansends schema." Menurut teori ini korupsi merupakan suatu kelakuan manusia yang diakibatkan oleh tekanan social sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Semua sistem sosial mempunyai tujuan. Manusia berupaya untuk mencapai tujuan melalui cara-cara (means) yang telah disepakati. Inilah norma-norma lembaga yang dikenal di dalam masyarakat. Sebagaimana biasanya banyak orang mengikutinya, mereka adalah golongan kompromis. Namun demikian sistem sosial juga menyebabkan tekanan terhadap banyak orang yang tidak mempunyai akses atau kesempatan di dalam struktur tersebut karena pembatasanpembatasan atau diskriminasi rasial, etnis, keterampilan, kapital, dan sumber-sumber lainnya. Golongan ini kemudian berupaya mencari berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan di dalam masyarakat.
Teori Edward Banfeld ini terutama ditekankan kepada keterikatan yang terlalu dekat kepada keluarga. Korupsi merupakan suatu ekspresi dari partikularisme. Sikap partikularisme ialah suatu perasaan kewajiban untuk membantu, membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi yang dekat pada seseorang. Bantuan tersebut merupakan suatu kewajiban personal kepada keluarga atau kepada sahabat atau kepada anggota kelompokya.
Robert Klitgaard merumuskan korupsi secara sederhana: C = M + D – A Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability atau korupsi terjadi bila ada monopoli kekuasaan dan kewenangan, tetapi tanpa akuntabilitas.
UU No.31/1999 jo. UU No.20/2001, menyebutkan bahwa pengertian korupsi setidaknya mencakup perbuatan :
1. Melawan hukum, memperkaya diri, orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 2)
2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 3)
3. Kelompok delik penyuapan (Pasal 5,6,11)
4. Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (Pasal 8,9,10)
5. Delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12)
6. Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7)
7. Delik Gratifikasi (Pasal 12B,12C)
III. Tinjauan Empirik
Sejarah korupsi di Indonesia pada dasarnya telah ada sejak zaman kolonial Belanda dengan adanya kasus korupsi yang dilakukan VOC pada masa itu. Hal tersebut bukan hanya sebuah dongeng tetapi bukti yang nyata-nyata ada dalam sejarah kelam penjajahan di Indonesia yang sampai sekarang warisan/peninggalannya ( budaya korupsi) telah mengakar rumput sampai kepada generasi yang diharapkan menjadi pembaharu serta pemimpin-pemimpin perubah kearah yang lebih baik. Dengan dasar ini maka penulis hendak memaparkan urutan sejarah upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu sebagai berikut
Dalam perjalanannya sejarah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia membuktikan bahwa korupsi sangatlah sulit untuk diberantas. Penyebab umum kegagalan atau kekurangmaksimalan dari upaya-upaya tersebut antara lain karena: (1) komponen atau sarana yang disediakan untuk pencegahan korupsi kurang memenuhi standar efektifitas kinerja objeknya, sehingga hasil yang diharapkan tidak sesuai target; (2) tidak ada konsistensi dari pelaksana tindak pidana korupsi, sehingga upaya yang telah dirancang dengan matang akhirnya (lagi-lagi) berhenti di tengah jalan; (3) system-sistem SDM serta keuangan yang ada tidak diarahkan untuk mendukung kinerja praktek pencegahan dan pemberantasan korupsi, sehingga ada tumpang tindih dan gap informasi antara aturan dan pelaksanaannya.
Secara umum strategi pemberantasan korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Korupsi adalah permasalahan sistemik dalam suatu negara, yang merupakan bentuk kegagalan dari penyelenggaraan pemerintahan รจ National Integrity System.
b. “Sistem Integritas Nasional” terdiri dari institusi dalam semua sektor (publik, swasta dan sektor ketiga) suatu negara, peran dan fungsinya dilaksanakan dengan standar tinggi dalam efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, sehingga satu dengan lainnya saling mendukung untuk menjaga standar tinggi tersebut dan tingkat korupsi yang rendah.
c. Mencerminkan konsep akuntabilitas horizontal: satu sektor menjadi “watchdog” bagi institusi lainnya
IV Penutup
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan Negara terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.
Langkah internal:
1. Meluruskan orientasi
Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2. Memperkuat komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
3. Membangun kultur baru
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
4. Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.
5. Memperkuat payung hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan.

6. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
7. Reformasi birokrasi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah perlu dilakukan:
a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai.
Karena selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah dimulai dan harus terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan dalam sumber daya lokal, maka power sharing mudah dilakukan tapi reventte sharing lebih sulit dilakukan.
c) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena banyak urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta berperan sebagai pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan profesionalitas.
Langkah eksternal:
1. Komitmen dan keteladanan elit politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.


2. Pengawasan masyarakat
Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi.
Daftar Referensi
Makalah Seminar Anti Korupsi UNPAD Bandung oleh Erry Riana Hardjapamekas (Transparency International lndonesia)

International Review of Administrative Sciences A comprehensive framework for public administration reforms: a reply to Jocelyne Bourgon

Gifford and Pinchot, Elizabeth, The End of Bureaucracy and The Rise of The Intelligent Organization, San Fransisco: Barret-Koehler Publishers, 1993

Jurnal Transparansi , Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, edisi 18 Maret 2000

Osborne dan Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta; Pustaka Binaman Pressindo, 1995

Fredickson, George, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey Bass, 1997

Makalah Seminar Anti Korupsi oleh Yesmil Anwar, S.H., M.Si disampaikan pada seminar anti korupsi di UNPAD Bandung 2006

Jurnal Administrasi Publik Budaya Birokrasi Pelayanan Public oleh : Drs. Agus Suryono. MS
























*Kandidat Master Public Admnistration FISIPOL Gadjah Mada University

Tuesday, December 9, 2008

Terjemahan Jurnal

Menengok kembali reformasi administratif di negara bagian Amerika:
Status menemukan kembali pemerintahan selama 1990an
Pendahuluan
Intensitas sentimen berkaitan dengan “penemuan kembali” pemerintahan sebagai sebuah konsep nampaknya luas dan dalam, dan juga luar biasa negatif atau positif. Istilah ini sudah diartikan sebagai “paradigma terpopuler administrasi publik pada 1990an” (Gabrielian, Holzer dan Nufrio 1998, 1948). Penemuan kembali, seperti reformasi administratif lain, sudah membagi “sarjana, program pascasarjana dan asosiasi profesional ke dalam dua kubu” (Ott dan Goodman 1998, 544). Garis batas nan tipis dan pengutuban ini diilustrasikan oleh reaksi Professor Calista terhadap artikel terdahulu kami (Brudney, Hebert dan Wright 1999). Mengadopsi penemuannya mengenai nama-nama author yang hilang, kami merujuknya selanjutnya sebagai “kritik” kami. Faktanya, ia adalah kritik terkungkung sebuah artikel yang sebaliknya sudah meraih publikasi dan juga pujian dan pengakuan. Artikel asli menerima Mosher Award (dari Public Administration Review) pada 2000 maupun Kaufman Award pada 1998 (paper terbaik dalam administrasi publik pada Pertemuan Asosiasi Ilmu Politik Amerika 1997). Para sarjana di bidang administrasi publik mengangkat dua panitia seleksi (dan juga peninjau dan panelis PAR di Pertemuan APSA) bukan hanya telah meninjau artikel pada manfaat-manfaat kompetitifnya, melainkan juga menilainya layak mendapat penghargaan tersendiri.
Kami bermaksud melampaui kontroversi seputar penemuan kembali. Ada tiga sasaran spesifik. Pertama, kami membangun analisa lebih awal kami (berdasarkan data yang dihimpun pada 1994) guna memperbarui status penemuan kembali tingkat negara bagian dengan melaporkan hasil-hasil dari replikasi 1998 survei awal badan-badan administratif negara bagian. Kedua, kami memperjelas dan menekankan pendirian deskriptif, empirik dan menjelaskan yang dengannya kamimendekati penemuan kembali (reinvention) di negara bagian-negara bagian Amerika. Ketiga, dalam proses mengejar tujuan-tujuan awal, kami mengalamatkan beberapa isu dengan komentar yang mengiringi oleh kritikan kami, kami menunjukkannya salah arah, tak berdasar dan tak beralasan.
Menemukan kembali pemerintah merupakan sebuah gerakan reformasi administratif yang kini sudah satu dekade. Reinventing Government karya Osborne dan Gaebler memberi gerakan label dan dorongannya pada 1992. Di tingkat nasional, menemukan kembali pemerintah menerima dukungan dari pemerintahan Clinton melalui Tinjauan Kinerja Nasional (1993), sebuah upaya yang menggabungkan banyak fitur-fitur kuncinya. Di antara pemerintah negara bagian dan lokal, gerakan juga mendapatkan dukungan dalam rekomendasi Komisi Musim Dingin (Komisi Nasional tentang Pelayanan Publik Negara Bagian dan Lokal) dan inklusi komponen-komponen selektifnya dari agenda penemuan kembali (Thompson 1993). Pada basis lebih luas dan internasional, penemuan kembali sudah terhubung dengan gerakan Manajemen Publik Baru (Peters dan Pierre 1998).
Sesudah 10 tahun retorika, eksplikasi dan aplikasi, ada spekulasi soal apakah reformasi ini (dan kerabat dekatnya) merupakan pergeseran paradigma yang signifikan dalam administrasi publik. Light (1997) menyarankan sebanyak dalam diskusinya mengenai “manajemen liberasi” pasang keempat reformasi pada abad ke-20. Jika penemuan kembali adalah pasang reformasi keempat yang utuh, lalu nampak mewakili pergeseran semendasar perkembangan pendekatan manajemen administratif pada awal abad ke-20 (Barzelay 1992, Ingraham dan Romzek 1994, Peters 1996).
Bahkan jika penemuan kembali tidak diterima baik sebagai sebuah pergeseran mendasar, tetap merupakan topik berharga untuk diteliti. Kami berhipotesa sebelum survey 1994 kami mengenai 3.000 kepala badan negara bagian bahwa ia sudah menembus secara cukup jauh ke dalam aparatus administratif 50 negara bagian Amerika yang bisa dijabarkan secara empirik dan dijelaskan secara sistematik. Ini kami lakukan dengan data 1994 dalam artikel PAR (1999) kami dulu.
Dengan penegasan yang amat banyak, kritik kami mengambil pengecualian pada analisa itu dan presentasi hasil-hasil pada beberapa alasan. Pertama ialah bahwa riset “cacat secara mendasar—dalam datanya, metodologi dan desainnya”. Ia juga berpendapat artikel memuat “kesalahan mahsyur” dalam pelaporan dan analisa, mempergunakan “tes-tes palsu guna menegaskan temuan-temuannya” dan “menggagalkan protokol-protokol lazim untuk memastikan anonimitas dan kerahasiaan para respondennya.” Pada dasar substantif dan interpretatif, ia menduga keras bahwa kami “menemukan penemuan kembali pemerintah sedang kehilangan alasan” bahwa kami menunjukkan “antagonisme berlebihan” ke arah penemuan kembali, menyediakan “bukti tak terbantahkan mengenai keunggulan atas penemuan kembali” dan tiba pada “kesimpulan yang menegaskan kematian penemuan kembali [yang] … tidak dapat didukung.” Bacaan awal kami mengenai beban ini menyisakan kami cemas apakah author (anonim) sudah membaca artikel yang sama yang sudah kami tulis. Bacaan yang lebih seksama mengarahkan kita ke kesimpulan bahwa kritik kami salah paham, keliru mengerti, salah baca dan salah tafsir karakter, isi dan metodologi yang mendasari artikel 1999. Tambahan, secara kasar ia salah mewakili presentasi dan interpretasi kami mengenai hasil-hasil survey 1994. Melaporkan hasil-hasil survei 1998 kami, khususnya dibandingkan dengan temuan-temuan 1994, akan mengungkapkan sifat keliru klaim-klaimnya.
Mendekati dan mengukur penemuan kembali antarbadan-badan negara bagian
Paling tidak dua fitur mematok penemuan kembali terlepas dari riwayat panjang reformasi administratif negara bagian. Pertama, berbeda sejumlah reformasi terdahulu, penemuan kembali memiliki akar-akar substansial dalam pemerintahan lokal dan negara bagian. Misalnya, “para perintis” penemuan kembali, Osborne dan Gaebler, menganggapnya perlu menarik jumlah lebih besar dari kasus-kasus mereka dari komunitas-komunitas dan negara bagian-negara bagian alih-alih dari pemerintah nasional. Terutama antar pemerintah subnasional bahwa “penemuan kembali” sudah tengah dipraktekkan sebagaimana mereka menuliskan buku (Peters dan Pierre 1998).
]Kedua, reformasi negara bagian tingkat makro terdahulu biasanya mengalamatkan ketidaklayakan struktural yang digambarkan oleh Conant (1988, 1992). Ia mengamati, “Permasalahan administratif pokok yang para pembaharu katakan ingin mereka pecahkan atau alamatkan melalui reorganisasi adalah tumpang tindih, duplikasi, fragmentasi dan perkembangbiakan badan-badan administratif yang disebabkan oleh pertumbuhan tak terencana; pengaturan badan-badan administratif oleh dewan dan komisi dan difusi otoritas eksekutif” (1988, 895). Dengan cara sebaliknya, para penyokong menemukan kembali pemerintah berusaha untuk mengenalkan di tingkat mikro atau operasi cara-cara alternatif mencapai raihan-raihan idaman pemerintah. Mereka menerangkan penggunaan lebih ekstensif sektor swasta dan teknik-teknik yang diadaptasi dari administrasi bisnis, seperti penajaman fokus misi suatu badan, mendorong pengukuran hasil dan pengendoran aturan dan peraturan internal.
Berlawanan dengan reformasi lampau, penemuan kembali menonjol karena hubungan kentaranya dengan reformasi-reformasi administratif serupa yang dijalan-kan melampaui batas-batas AS. Paul Light (1997) mencatat bahwa manajemen liberasi atau Manajemen Publik Baru sudah menyebar ke luar negeri, khususnya di negara-negara Westminster Inggris, Selandia Baru dan Australia. Ia berspekulasi bahwa adopsinya sudah terjadi karena penurunan ekstensif kepercayaan pada pemerintah di negara-negara ini dan pencarian akan cara-cara memperkuat pemerintah dengan meminjam dari sektor swasta. Yang lain telah memeriksa reformasi manajemen secara internasional dan berkesimpulan bahwa, biarpun reformasi memiliki banyak kemiripan, reformasi juga secara substansial berbeda-beda lintas negara (Pollitt dan Bouckaert 2000). Sejumlah reformasi menekankan privatisasi, lainnya desentralisasi dan sebagian lagi deregulasi pemerintah (Peters 1996, Peters dan Pierre 1998). Peter dan Pierre menetapkan beberapa link di antara reinvention (penemuan kembali) dan “perdebatan pemerintahan” dan juga gerakan Manajemen Publik Baru. Tema-tema reformis dan berpikir secar alintas bangsa ini menyediakan konteks global yang dalamnya kita menelaah status dan kemajuan reinvention antarbeberapa ratus badan administratif di negara bagian-negara bagian AS.
Selama paruh pertama 1990an, para gubernur perorangan dan sejumlah badan perundangan negara bagian mulai merangkul reformasi reinvention sebagai fitur-fitur sentral program-program mereka. misalnya, gubernur Florida Lawton Chiles mempromosikan reformasi komprehensif atas nama reinvention (Berry, Chackerian dan Weschler 1999). Di Utah, gubernur Michael Leavitt membagian buku Osborne dan Gaebler kepada anggota-anggota kabinetnya dan secara aktif mendukung sejumlah reformasi jenis reinvention. Gubernur Zell Miller di Georgia memfokuskan upaya-upaya reinvention terutama pada memperbarui sistem personalia di bawah nama “GeorgiaGain” (Facer 1998). Konsisten dengan reinvention dan sebelum mengakrabi popularitas meluas-nya, gubernur Connecticut Lowell Weicker mempromosikan reformasi administratif pada awal 1990an. Ia berusaha melakukan “de birokratisasi” budaya administratif negara bagian dengan berfokus pada orientasi pelanggan Total Quality Management dan menopang peningkatan dalam pengukuran kinerja di negara bagian (Kravchuk 1993). Lebih awal dan lebih luas lintas 50 negara bagian, Chi (1993) melakukan survei lebih dari 300 badan negara bagian dan menemukan penggunaan ekstensif privatisasi, komponen menonjol dari reinvention.
Hingga 1994, kami sudah mendapati bahwa di 38 negara bagian, lebih dari 50 persen kepala badan melaporkan negara bagian mereka telah terjun dalam reinvention atau reformasi serupa (Brudney, Hebert dan Wright 1999). Hingga tengah dekade, reinvention memenuhi syarat sebagai gerakan reformasi tingkat negara bagian lingkup nasional. Kami menyimpulkan bahwa “tampak lebih dari sebuah reaksi daripada gelombang reformasi di tingkat negara bagian”, namun mengingatkan bahwa, “bisa saja prematur untuk melewatkan penilaian tegas atau akhir mengenai keberhasilan reinvention di negara bagian itu” (1999, 29).
Karena kami tidak memiliki data berbasis tren yang konsisten melampaui 1994, kami sengaja menghindari pernyataan yang menegaskan waktu apapun. Oleh sebab itulah, kesalahan pernyataan yang signifikan bagi kritik kami terhadap klaim bahwa kami menganggap “reinvention sedang kehilangan dasarnya” atau bahwa kami mengklaim “kematian”nya. Dalam tinjauan kembali dan sesuai bingkai waktu survei ASAP 1994, kami mungkin sudah menyimpulkan bahwa lingkup reinvention 38 negara bagian mewakili kemajuan substansial dalam istilah adopsi reformasi reinvention berbasis luas.
Kiranya penting dicatat bagaimanapun juga, bahwa tingkatan atau lingkup reinvention yang dirujuk di sini ialah menurut negara bagian. Yakni, respons-respons dari kepala-kepala jawatan diagregasi dalam tiap negara bagian guna menghasilkan skor-skor berbasis negara bagian, sebuah metodologi yang mengganggu maupun menurut penilaian kami, menyesatkan kritik kami. Analisa penjelas selanjutnya kami (regresi berganda) bukanlah berbasis negara bagian. Justru, analisa memakai badan sebagai unit analisa. Karena model kami menggabungkan sejumlah besar variabel penjelas dalam sebuah upaya sistematis guna memahami dan menerangkan reinvention lintas badan-badan negara bagian, kasus tak pelak lagi hilang bagi analisa akibat hiolangnya atau tak lengkapnya respons. Kami juga menemui respons-respons yang hilang atau tak utuh pada item-item reinvention perorangan. Hasilnya, kami melaporkan sejumlah kasus yang lebih kecil dari 1.200 plus jawaban yang diterima. Inilah fitur umum riset survei, namun fitur yang mendorong kritik kami guna mengeluh bahwa hasil “menyesatkan”.
Kami memiliki lebih dari justifikasi luas untuk berfokus pada badan-badan sebagai unit analisa dalam pemeriksaan empirik implementasi reinvention kami di banyak negara bagian. Dalam sebuah artikel PAR yang juga menerima Mosher Award, James Thompson (2000) menyimpulkan bahwa karena reinvention diarahkan pada mikroelemen-mikroelemen administrasi, ia harus dilaksanakan (dan ditelaah) di tingkat itu. Dengan kalimatnya, “strategi disyaratkan yang mengakui badan-badan tersendiri sebagai unit analisa yang relevan dan yang menggabungkan elemen-elemen guna mencapai keberhasilan di tingkat itu” (519). Menjajarkan hasil-hasil kami di tingkat negara bagian, Thompson menemukan bukti-bukti kemajuan dalam reinvention di pemerintah nasional yang diduga keras tercampur. Demikian pula, di tingkat lokal, Kearney, Feldman dan Scavo (2000) melukiskan gambaran yang suram. Analisa empirik mereka mengungkapkan dukungan retorik substansial bagi prinsip-prinsip reinvention antar sampel besar para manajer kota (N = 912); “namun, ada kesenjangan di antara retorika dan realitas dan varian terkemuka di tingkat-tingkat komitmen terhadap aksi-aksi reinvention sebagaimana terdaftar melalui rekomendasi-rekomendasi anggaran eksekutif kepada dewan kota” (2000, 546). Maka, ada kesenjangan di antara retorika dan realitas implementasi reinvention. Hasil-hasil kami, yang didasarkan pada respons-respons administrator negara bagian, konsisten dengan temuan-temuan yang bermunculan dari kajian para pejabat di tingkat nasional dan lokal.
Kritik kami secara studio menghindari dan dengan begitu gagal mengalamatkan pustaka substansial dalam PAR yang secara sistematis sudah menelaah kemajuan dan prospek menemukan kembali pemerintah. Ia menggambarkan sebagai “nyaris seluruhnya tak mengutungkan” suatu kerangka penelitian yang mencakup bukan hanya karya-karya yang memenangkan penghargaan oleh Thompson (2000) dan deLeon dan Denhardt (2000), melainkan juga artikel-artikel oleh Moe (1994), Kearney, Feldman dan Scavo (2000) dan Terry (1998). Awal dalam esainya, kritik kami secara ringkas dan tak bisa dijelaskan menghilangkan kontribusi-kontribusi ini sebagai “sesak dengan bahasa kelewatan”, “sekedar berkhotbah kepada yang sudah berubah” dan sebagai bagian dari “antagonisme blak-blakan” bidang ke arah reinvention. Opini ini harus hadir sebagai kejutan—jika bukan penghinaan—kepada banyak peer reviewer (peninjau sebaya) dan para pembaca jurnal ini.
Sebuah penilaian yang lebih seksama mengenai pustaka reinvention dari yang ditawarkan oleh kritik kami menunjukkan bahwa di tingkat nasional, beragam penilaian Tinjauan Kinerja Nasional (NPR) sudah dijalankan. Secara dasar ada dua jenis penilaian. Jenis pertama sudah menelaah tingkatan yang terhadapnya rekomendasi-rekomendasi NPR sudah diadopsi oleh badan-badan federal (Radin 1995), temuan-temuan mengungkapkan banyak variasi lintas badan-badan dalam implementasi dan hasil. Pendekatan kedua ke menilai NPR (atau reinvention) ialah analitis dan menjelaskan; Hennessey (1998) misal, menjelaskan perbedaan-perbedaan berdasar-kan kombinasi budaya organisasi dan gaya-gaya kepemimpinan.
Secara signifikan, tinjauan NPR menyimpulkan tidak ada Tinjauan Kinerja Nasional tunggal dievaluasi, justru terdapat paling tidak tiga terjemahan (Kettl 1998). Melintasi dekade, fokus sudah berubah minimal dua kali dari fokus yang awalnya diusulkan. Misi awal NPR paling dekat dengan reinvention sebagaimana digembar-gemborkan oleh Osborne dan Gaebler (1992), dengan fokus pada merampingkan procurement (usaha mendapatkan sesuatu) dan memperbaiki pelayanan pelanggan namun dengan tekanan pada mengecilkan uikuran (downsizing) pula. Fase kedua, diperkenalkan sebagai administrasi menghadapi tekanan dari Kongres Republik, berupaya mengalamatkan tugas-tugas mana yang sebaiknya pemerintah jalankan. Akhirnya, versi terkini NPR sudah berpusat dengan lebih tajam pada raihan-raihan, namun juga bertujuan pencapaian signifikan—seperti memperbaiki perekonomian dan membantu memastikan komunitas keamanan (Kettl 1998).
Jika mengevaluasi implementasi NPR dalam pemerintah nasional sulit, menilai reinvention di negara bagian merupakan tugas yang lebih melelahkan. Kendati promosi reinvention meluas antarsekian negara bagian, tak ada katalog atau indeks tunggal reformasi reinvention spesifik ada. Tiap gubernur atau legislator yang menganggap reinvention diidamkan dalam aspek apapun mendefinisikannya bagi negara bagiannya dan memberinya tekanan unik. Jadi, tak ada templat standar atau “kartu skor” ada yang terhadapnya kemajuan ke arah implementasi reinvention bisa ditelusuri.
Dalam antisipasi survei 1994, kami mencoba seperangkat reformasi umum yang secara memadai akan mencirikan upaya-upaya reinvention yang sudah dicantumkan dan dipromosikan oleh para penulis di bidang itu (Osborne dan Gaebler 1992, Barzelay 1992, Tinjauan Kinerja Nasional 1993). Dari pustaka ini, kami mengidentifikasi 11 reformasi spesifik bagi inklusi dalam survei 1994 dan kami mereplikasi item-item pas itu dalam survei 1998. Kendati tak ada gubernur atau pembuat perundangan negara bagian sudah mempromosikan listing pas ini, sekalipun begitu ia menyediakan basis konsisten untuk menilai tingkat reinvention di negara bagian dan menjalankan perbandingan lintas negara bagian dan lintas badan. Para peninjau tiga esai terbitan dan dua esai tak diterbitkan menggunakan set 11 item tidak mengajukan keberatan apapun atau reservasi yang menentang fitur-fitur ini sejujur mewakili “reinvention”. 20 discussant dan/atau referee taksiran sudah memeriksa esai-esai ini.
Status Reinvention: 1994 dan 1998
Sebelum melaporkan hasil-hasil empirik survei dan strategi pengumpulan data lainnya, lazim kiranya menyediakan deskripsi mengenai metodologi yang menghasilkan data. “permasalahan” yang dituduh oleh kritik kami mendorong kamimengesampingkan bagian pembahasan ini selanjutnya yang dicurahkan pada metodologi dan isu-isu analisa. Di bagian ini, kami terus dengan fokus dan pertanyaan substantif sentral: apa yang sudah terjadi terhadap reinvention antarbadan-badan negara bagian antara 1994 dan 1998?
Saran-saran kriik kami bagi “riset penjelas” tentang isu ini ialah menelaah home page-home page ketiga negara bagian dengan skor-skor empirik yang rendah pada indeks reinvention kami. Di urutan pertama, prosedur ini amat meragukan dengan memandang kelayakan representasi negara bagian-negara bagian dalam desain riset apapun. Karena “sampel”nya kurang variasi pada variabel kepentingan (reinvention) dan lingkup (jumlah negara bagian), kami tidak dapat mengevaluasi jumlah “hit” (istilahnya) pada sebuah home page (rendah? Medium? Tinggi?) dalam kaitannya dengan negara bagian-negara bagian lain dengan skor-skor berbeda pada indeks reinvention. Dengan tiadanya perbandingan lintas negara bagian, hipotesa gagal tes esensial mengenai kapabilitas falsifikasi. Pembatasan sengaja variasi dalam variabel terikat bukanlah strategi riset yang dianjurkan atau sahih (Meier dan Brudney 2002; O’Sullivan dan Rassel 1999). Peringatan ini berlaku meski adanya bujukan dan keunggulan yang bisa jadi ia tawarkan kepada siapapun yang lebih tertarik dalam menegaskan hipotesa favorit daripada dalam memeriksa secara jujur sebuah pertanyaan riset.
Di urutan kedua, seiring pustaka yang berkembang tentang penegas e-government, kriteria yang dipilih oleh kritik kami untuk “menguji” hipotesanya (hit di sebuah home page negara bagian) tidak memiliki makna jelas dengan memandang mengukur reinvention atau apapun yang lain. Negara bagian, badan, lokalitas dan unit-unit lain dan tingkat pemerintah lainnya berbeda secara dramatis dalam mutu, aksesibilitas dan interaktivitas home page-home page mereka. catat bahwa tiga perjalanan URL negara bagian kiritik kami di www menjadikannya bebas menguraikan reinvention dengan cara apapun ia melihat cocok, selama suatu web “hit” mencuat. Misalnya, bonus untuk menghargai para guru sekolah umum dan voucher-voucher sekolah nampak pada daftar hitnya. Di satu negara bagian (New Mexico), strategi ini sebenarnya mengakibatkan “tak ada hit” suatu ihwal yang dialamatkan secara serius dengan mengontak seorang pustakawan negara bagian (lihat catatan 4).
Sebaliknya, Grup Riset Kebijakan Cyberspace, yang sudah menerima pendanaan substansial dari Yayasan Ilmu Nasional, memberdayakan 45 kriteria terpisah yang ditata ke dalam 10 kategori guna mengukur dan mengevaluasi web site pemerintah menurut transparansi-nya dan interaktivitas (tersedia di Maret 2001)). Darrel West (2001), direktur Taubman Center for Public Policy di Brown University, memperlihatkan kepedulian dan kekuatan setara dalam penilaiannya mengenai web site pemerintah. Dalam State and Federal E-Government in the United States, 2001, West memakai 32 fitur berbeda untuk menunjukkan bagaimana web site pemerintah berbeda dalam aksesibilitas, interaktivitas, pelayanan dan kemudahan pemakaian. Sampel besarnya mencakup rata-rata lebih dari 30 website bagi tiap negara bagian, 1.621 web site pemerintah keseluruhan. Usaha ilmiah ini sangat menopang yang sampai keputusan-keputusan riset diambil dan dibenarkan yang menegaskan dan mengoperasionalkan “hit pada suatu home page negara bagian” yang mendasari konsep “reinvention” kritik kami hendak mengukur kurangnya presisi, validitas dan reliabilitas,
Pendekatan kami ke pertanyaan apa yang sudah terjadi pada reinvention antarbadan-badan negara bagian antara 1994 dan 1998 lebih langsung, sistematis dan dipercaya daripada melihat sepintas tiga home page negara bagian. Kami mengandalkan data yang didapat dari survei American State Administrators Project selama tahun-tahun itu, yang memberdayakan prosedur dan metodologi yang sama (lihat bawah). Analisa empirik data ini menunjukkan bahwa bagi ke-11 item reinvention, persentase kepala jawatan yang lebih besar merespons secara tegas pada 1998 daripada pada 1994. Tabel 1 mengungkapkan bahwa reinevntion sudah terus menyebar lintas pemerintahan negara bagian dan badan-badan negara bagian. Di setiap contoh, persentase 1998 lebih tinggi daripada persentase 1994. Di sini, untuk kali pertama, adalah bukti-bukti bertambahnya penggunaan beberapa praktek reinvention oleh para kepala badan administratif negara bagian.
Minimal tiga item reinvention bernilai bagi adopsi yang pada pokoknya bertambah dan implementasi penuh pada 1998 di atas 1994: (1) perencanaan strategis (39 persen  50 persen), (2) perbaikan layanan pelanggan (20 persen  29 persen) dan (3) pergantian (14 persen  24 persen). Perubahan-perubahan dalam proporsi ini tidak dengan sendirinya kecil atau kebetulan. Perencanaan strategis hanyalah ilustrasi: Untuk bergerak dari 39 persen ke 50 persen adalah sebuah lompatan lebih dari 25 persen antarbadan-badan negara bagian. Selanjutnya, fakta bahwa separuh kepala jawatan melaporkan implementasi penuh pernyataan-pernyataan misi yang jelas yang timbul dari perencanaan strategis menunjukkan upaya-upaya reinvention yang meluas (meski selektif).
Kiranya mungkin memperlihatkan pergeseran-pergeseran yang bahkan lebih dramatis berdasarkan peningkatan persentase-poin bagi pelayanan konsumen dan pergantian jika perubahan diterjemahkan menjadi proporsi. Perubahan 10 poin dalam penggunaan pergantian selama 1998 merupakan peningkatan lebih dari 60 persen dari 14 persen selama 1994. Demikian pula, perubahan 9 poin dalam pelayanan konsumen hampir kenaikan 50 persen dari 20 persen selama 1994.
Pergeseran-pergeseran persentase-poin lain dari 1994 ke 1998 jauh lebih sederhana, dalam jangkauan 4-7 poin, kecuali bagi tiga fitur terakhir di daftar 11 item. Agak mengejutkan, privatisasi, tanda atau batu uji Manajemen Publik Baru, memiliki perubahan persentase-poin terendah (2) dari semua fitur reinvention. (Kami mengalamatkan privatisasi, lihat Brudney dan Wright 2001).
Cukup sudah dikatakan untuk menunjukkan bahwa reinvention hidup, dengan baik dan minimal berkembang—jika tidak menjanjikan—antarbadan-badan negara bagian lintas bangsa. Kesimpulan ini lebih lanjut ditopang oleh persentase lebih tinggi yang konsisten (namun sederhana) pada 1998 yang mencakup implementasi parsial dan juga penuh. Ada peningkatan bagi setiap item reinvention, namun hanya tiga—perencanaan strategis, pergantian dan pelayanan konsumen yang membaik—mencatat pergeseran yang kira-kira kenaikan 10 persentase-poin antara 1994 dan 1998.
Para antagonis dan juga protagonis reinvention mungkin menempatkan kisaran atau interpretasi mereka sendiri pada hasil-hasil yang kami laporkan. Bagi kami, kami menyimpulkan bahwa badan-badan negara bagian jelas dan secara konsisten sedang meluaskan adopsi atau adaptasi reinvention mereka. Berdasarkan hasil-hasil survei 1994, kami berkomentar bahwa reinvention “nampaknya lebih merupakan riak daripada gelombang reformasi di tingkat negara bagian” (29). Hasil-hasil 1998 kami mendorong kami merevisi pandangan kami dalam dua ihwal.
Pertama, reinvention tak lagi berada dalam ranah “penampakan”. Ia merupakan sebuah kehadiran yang berlanjut dan tegas lintas badan-badan negara bagian. Kedua, kami berpindah dari metafora “riak” ke arah memandang reinvention sebagai pasang naik antarbadan-badan negara bagian pada 1990an. Kami tak diyakinkan bahwa ia sepenuhnya memenuhi standar sebagaimana salh satu “pasang” reformasi Light. Sekalipun kami teguh dalam membedakan diri dengan Chackerian (1996, 44) bahwa “tekanan pada reinvention mungkin dekat ujungnya”. Reinvention lintas negara bagian-negara bagian Amerika jelas berpengaruh dan jauh dari terminal pada 1990an.
Metode-metode survei proyek administrator negara bagian Amerika
Saatnya mengulas elaborasi metodologi pengumpulan data bagi survei reinvention 1994 dan 1998 di badan-badan negara bagian. Bagian ini akan normalnya dirancang ke sebuah inset kotak dalam sebuah artikel terbitan (seperti dalam artikel PAR 1999 kami, 22) atau turun ke catatan akhir penjelas. Sifat berlebihan pernyataan tanpa bukti oleh kritik kami tidak bisa diberi status subordinat semacam.
Proyek Administrator Negara Bagian Amerika (ASAP) adalah serangkaian berlanjut survei surat para kelapa badan-badan administratif pemerintah negara bagian di 50 negara bagian. Survei sudah dijalankan dua kali tiap dekade (di tahun keempat dan kedelapan) sejak 1964 (Wright, Cho dan Davis 2001 menyediakan 112 halaman penyusunan survei ASAP). 14 disertasi doktoral, empat tesis master, 27 artikel yang ditinjau sesama terbitan, 19 bab buku dan skor-skor paper-paper riset sudah sebagian atau sepenuhnya mengandalkan data dari survei-survei ASAP. Lebih dari 15 tahun silam, PAR sudah menerbitkan lima artikel yang di dalamnya data ASAP membentuk komponen inti esai (Miller 1987, Bullard dan Wright 1993, Yoo dan Wright 1994, Bowling dan Wright 1998 dan Brudney, Hebert dan Wright 1999).
Kita bisa membayangkan dengan baik kegemparan kita ketika membaca lingkup dan karakter tuduhan-tuduhan yang diangkat pada metode-metode pengumpulan data dari survei-survei ASAP. Sudahkah kami—dan juga skor-skor PAR (dan lainnya) referee, plus satu dua lusin anggota panitia tesis—menjadi ilmuwan bebal dan tak peka? Kita amat dan secara kategoris menolak bahwa kita “tak lulus protokol lazim” lengah dalam “memastikan anonimitas dan kerahasiaan” dan bahwa kita adalah congkak “soal etika-etika yang tercakup”.
Sudahkah kritik kami memberi kami penghormatan profesional normal mengontak kami secara langsung soal keprihatinannya sebagai “kolega” (sebuah istilah yang ia pakai awal dalam esainya), akan memelihara ruang berharga dalam PAR dan menjadikan episode keseluruhan ini kurang tak patut lagi. (Deksripsi enam lembar metodologi survei ASAP, Wright dan Cho 2001, tersedia bila diminta). Berbeda dengan publik dan lubang yang amat dituduh dari klaim-klaim kritik kami, kami bermaksud menanggapi dengan suatu cara yang akan instruktif baginya dan kepada mereka yang terjun dalam menjalankan dan menerbitkan riset (survei) empirik.
Isu-isu terkait dengan anonimitas dan kerahasiaan, harus diperjelas, khususnya karena kriik kami nampaknya merancukan dan menyamakan keduanya. Survei ASAP tidak pernah anonim. Nama-nama kepala tiap kira-kira 30, 60 atau 90 badan di tiap negara bagian (tergantung pada tahun-tahun survei berurutan) sudah diambil dari nama dan alamat terbitan di The Book of the States, Supplement II, Administrative Officials by Function. Jadi, nama orang yang kepadanya tiap survei dilayangkan diketahui dan dengan pemakaian angka-angka kode, nama-nama mereka yang sudah mengembalikan survei (juga yang belum). Surat menyurat follow up (biasanya tiga) dikirimkan secara berurutan kepada selain responden. Karena itu, tiada anonimitas. Namun ada kerahasiaan.
Ini mengarahkan kami untuk membuat dua poin krusial menyangkut hal ihwal etika. Pertama, para penerima survei ASAP diyakinkan di puncak kuesioner: “Seluruh Respons Rahasia: Hanya Hasil-hasil Agregat Akan Diterbitkan”. Dalam empat dekade survei dan publikasi ASAP jaminan ini tidak dilanggar. Kedua, survei ASAP belakangan sudah mengikuti kriteria Dewan Tinjauan Institusional (IRB) mengenai riset subyek manusia. Antaritem-item lain, sarana ini mencakup pernyataan berikut tentang huruf dan sampul kepada para responden potensial: “Jika anda memiliki pertanyaan atau keprihatinan soal kerahasiaan dan/atau fitur-fitur etis lainnya dari riset ini, anda bisa menghubungi University Academic Affairs Institutional Review Board di 919-951-7761 atau email: aa-irb!unc.edu.” Prosedur selanjutnya mencakup menekan kode-kode yang mengidentifikasi orang unik sesudah data dikumpulkan dan disiapkan untuk analisa.
Dalam konteks ini, seharusnya ditunjukkan bahwa di bawah Judul 45, Kode Regulasi Federal, Bagian 46 (45CFR46), “Perlindungan Subyek-Subyek Manusia” survei orang dewasa yang direkam dengan tanpa pengidentifikasi dan tidak mengandung risiko kepada subyek biasanya dibebaskan dari tinjauan oleh Dewan Tinjauan Institusional yang dihimpun (Bagian 46.101(b)(2)). Kebijakan federal melangkah lebih lanjut untuk secara spesifik membebaskan survei dari “para pejabat publik yang diangkat atau dipilih atau para calon bagi kantor publik” dari tinjauan IRB penuh (Bagian 46.101(b)(3)) jika kerahasiaan dipertahankan “seantero riset dan sesudahnya”. Proyek-proyek ASAP 1994 dan 1998 ditinjau dan disetujui oleh IRB di University of North Carolina, rumah institusional bagi survei, di bawah kategori dibebaskan ini.
Klarifikasi akhir seharusnya menghilangkan keprihatian soal panggilan telepon follow up sesudah survei 1994 dan 1998 guna menguji dan menegaskan daya representatif dari angka respons sepertiga kasarnya terhadap kedua survei. Daftar terbitan kepala badan negara bagian melaporkan nomor telepon mereka dan juga alamat. Urusan sepele menarik sampel acak dari seluruh non responden (7 persen pada 1994, 8 persen pada 1998). Panggilan telepon ini (Mei-Juni menyusul surat-menyurat September-Februari) memungkinkan kami menghimpun informasi secara langsung dari sampel non responden tentang lima item atribut pribadi, seperti usia atau tahun di posisi sekarang. Karena para kepala jawatan adalah orang-orang sibuk, kami mampu menjaga item-item data ini kurang dari semenit. Ketika kami bisa menopang perhatian kepala jawatan selama periode yang agak lebih lama, kami menanyakan empat item sikap, misalnya, “Siapa yang memakai kontrol lebih besar soal urusan jawatan anda?_____Gubernur; _____Pembuat perundangan; ______Sama saja”. Dalam sekitar sepertiga panggilan telepon kami mampu menanyakan item-item sikap. Respons ini menjelaskan perangkat angka yang lebih besar (N = 120 hingga 140) untuk item-item atribut dan item-item sikap bahwa responden kami adalah mewakili kelompok lebih besar 3.000 plus kepala jawatan negara bagian. Yakni, kita tidak bisa menolak hipotesa nol mengenai tak ada perbedaan pada item-item di antara perangkat data responden berbasis surat dan berbasis telepon.
Premium pada ruang jurnal normalnya menghalangi ekposisi metodologi lengkap seperti ini dan kami mengikuti konvensi PAR meliputi hanya “kotak metodologi” singkat dalam artikel kami (Brudney, Hebert dan Wright 1999, 22). Deskripsi ini mencukupi untuk memenuhi editor dan peninjau PAR dan juga dua panitia penghargaan terpilih. Jelasnya, tidak mencukupi kiranya bagi kritik kami. Mengapa rincian ini sebaiknya memerlukan penganginan rumit adalah keadaan yang membentang kecenderungan mudah percaya.
Kesimpulan
Kami tidak mengakui salah satu kelemahan, kehilangan atau kekeliruan yang dituduhkan kritik kami. Kami sudah menunjukkan serangannya dan saran-saran sesatnya bagi riset penjelas adalah tak terjamin dan tak berdasar. Jika (hanya) demi argumen, kita beranggapan kontra faktual, implikasi akan berupa skala-skala reinvention ASAP adalah ukuran yang tak sahih. Guna menguji pamrih ini, kami memerlukan sebuah ukuran alternatif konsep yang sama atau terkait di tingkat negara bagian untuk validasi. Kurangnya kriteria seperti ini, betapapun, adalah faktor pokok yang memotivasi kami mengembangkan skala-skala reinvention berdasarkan data ASAP 1994.
Menyusul riset dan publikasi awal kami, sebuah tim peneliti di Maxwell School of Citizenship and Public Affairs di Syracuse University, dalam kaitannya dengan majalah Governing, mengembangkan indeks-indeks guna menilai kinerja administrasi pemerintah negara bagian. Proyek Kinerja Pemerintah (GPP), yang diprakarsai pada 1997 dan diurusi pada 1998, merupakan sebuah upaya masif menilai kinerja pemerintah lintas negara bagian (Barret dan Greene 1997, 17). Jika kami menerima bahwa ASAP dan GPP menawarkan pendekatan-pendekatan berbeda ke mengukur kinerja pemerintah—atau alternatifnya, status upaya-upaya reformasi yang diarahkan ke arah tujuan ini—hubungan empirik di antara keduanya menyediakan indikasi validasi.
Dalam riset terbitan, Burke dan Wright (2002) menjadikan kasus ini. Sebagaimana tabel 1 tunjukkan, 11 item reinvention ASAP menangkap kehadiran (atau ketiadaan) strategi-strategi kinerja anjuran seperti ini sebagai perencanaan strategis guna menghasilkan pernyataan-pernyataan misi yang jelas, program-program pelatihan guna memperbaiki pelayanan pelanggan, program-program perbaikan mutu guna memberdayakank aryawan, reduksi dalam tingkat hierarkis, catu daya untuk mengukur raihan-raihan, sistem-sistem untuk mengukur kepuasan pelanggan dll. Burke dan Wright menjelaskan, “Ini diperas dari klaster-klaster gagasan mengenai kinerja yang meneguhkan perubahan-perubahan dalam penyampaian pelayanan pemerintah. Desain ‘menemukan kembali pemerintah’ mengandalkan fokus berbasis misi dari manajemen atas, namun fleksibilitas di tingkat karyawan lini pada seberapa baikkah melaksanakan misi.” Mereka juga menunjuk perbedaan-perbedaan laten di antara pendekatan ASAP dan pendekatan GPP dalam metodologi, responden dan filosofi. GPP didasarkan pada wawancara hampir 1.000 aktor di dalam dan di luar pemerintah negara bagian (termasuk kunjungan on-site) dan upaya-upaya mengukur kinerja administratif negara bagian secara luas dengan menetapkan skor-skor atau ‘tataran-tataran’ di lima subsistem manajemen: manajemen keuangan, manajemen modal, sumberdaya manusia, mengelola hasil dan teknologi informasi. GPP adalah ukuran tingkat negara bagian yang menggabungkan pendekatan “top-down” ke tugas ini, mendapatkan informasi kinerja dari administrator staf sentral yang amat mapan atau para peserta pelayanan internal di kantor-kantor keuangan, anggaran dan teknologi informasi egara bagian. Berbeda dengan GPP, ASAP menggunakan pendekatan “bottom-up” ke kinerja administratif. Ia menghimpun informasi yang diinginkan melalui survei surat (dengan tiga follow up) sampel besar para kepala jawatan lini di negara bagian yang menanggapi 11 item mengenai adopsi “reinvention” organisasi yang spesifik (Burke dan Wright 2002). Meski tumpang tindih, GPP menelaah kontrol staf berbasis eksekutif yang memusat dan terkoordinir dan peralatan informasi sebagai sarana memperbaiki kinerja manajemen di pemerintahan negara bagian. Strategi riset ASAP mengandalkan banyak dan kepala jawatan lini terkemuka guna menandakan tingkatan yang terhadapnya jawatan mereka sudah mengadopsi beragam dan proposal spesifik yang dianjurkan dalam pustaka reinvention guna memperkaya kinerja (Burke dan Wright 2002). Singkatnya, upaya-upaya riset GPP dan ASAP mewakili pendekatan-pendekatan yang bertolak belakang ke kinerja administratif tingkat negara bagian.
Sesuai kemiripan dan juga perbedaan menonjol di antara kedua pendekatan, kita akan berharap menemukan korelasi positif sederhana di antara skala-skala reinvention ASAP bagi banyak negara bagian (yang terhadapnya kritik kami mengambil pengecualian penuh semangat) dan indeks-indeks ringkasan negara bagian GPP. Berdasarkan kekuatan dan juga perbedaan kedua pendekatan, korelasi rank-order Spearman di antara skor-skor negara bagian GPP untuk 1998 dan skala-skala reinvention negara bagian ASAP untuk tahun yang sama ialah 0,45 (secara statistik signifikan pada p < 0,01). Seperti diharapkan, asosiasi positif, sehat, meski tidak terlalu hebat (Burke dan Wright 2002). Kita juga akan berharap skor-skor GPP untuk 1998 menanggung korelasi yang jauh kurang substansial dengan ukuran-ukuran reinvention ASAP yang diambil empat tahun sebelumnya. Harapan ini mungkin ditegaskan. Korelasi rank-order Spearman di antara GPP (1998) dan skala-skala reinvention ASAP 1994 dikurangi hingga 0,20 (Burke dan Wright 2002). Jadi, skala-skala reinvention negara bagian ASAP nampaknya melalui tes validasi penting ini.
Korelasi-korelasi yang disajikan oleh Burke dan Wright (2002) didasarkan pada N = 49 negara bagian. Meski tim anggaran dan riset sekian kali lebih besar daripada Proyerk Administrator Negara Bagian Amerika, Proyek Kinerja Pemerintah juga menemui permasalahan dalam memastikan respons-respons survei, termasuk respons-respons dari negara bagian-negara bagian yang lebih padat. Barret dan Greene (1999, 7) melaporkan bahwa sejumlah negara bagian menjadi “testy” pada pra tes yang panjang dan cabang eksekutif Kalifornia tidak merampungkan survei “yang dirampingkan” akhir. Para author ini menggambarkan tugas benar-benar mengevaluasi ke-50 negara bagian sebagai “melelahkan”, sebuah pandangan yang tak ragu lagi dibagi bersama oleh tim riset GPP. “Lebih dari sekali tim bertugas mengurusi proyek ini…ingin negara sekedar berhenti tumbuh di 13 koloni” (Barret dan Greene 1999, 17).
Lintas empat dekade terdahulu, mulai dengan survei ASAP perdana pada 1964 dan direplikasi dan diperkaya di tujuh survei kemudian, Proyek Administrator Negara Bagian Amerika sudah berurusan dengan tugas melelahkan mengenai pemahaman lebih baik karakteristik dan konfigurasi administrasi negara bagian dan adminis-trator negara bagian. Perangkat data yang timbul secara luas sudah dibagi bersama, dipakai, dikutip dan diterbitkan oleh siswa dan sarjana yang serius. Riset juga sudah dikecam namun, hingga kini, selalu dengan maksud mengangkat tingkat wacana dan memperbaiki survei untuk administrasi mendatang di tahun keempat dan kedelapan dekade itu. Pada akhirnya, tes riset ialah apakah ia menguak pengetahuan baru, menawarkan sesuatu yang konstruktif, atau menaikkan perdebatan. Begitu pulakah kritik kami? Kami menyerahkannya kepada para pembaca untuk melakukan penilaian.

Wednesday, November 19, 2008

HASRAT UNTUK BERUBAH
Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal,
aku bermimpi ingin mengubah dunia.
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku,
Kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah.
Maka cita-cita itupun agak kupersempit,
Lalu kuputuskan hanya mengubah negeriku,
Namun, tampaknya, hasrat itu pun tiada hasilnya.
Ketika usiaku telah semakin senja,
Dengan semangatku yang masih tersisa,
Kuputuskan untuk mengubah keluargaku,
Orang-orang yang paling dekat denganku.
Tetapi celakanya, mereka pun tidak mau diubah,
Dan kini….
Sementara aku berbaring saat ajal menjelang,
Tiba-tiba kusadari:
“Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku,
maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku.
Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,
Bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku;
Kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia.”
Jangankan Negeri ini DUNIA akan aku rubah dengan TANGANKU
27 Agustus 2008 Jam 10:43 WIB
Andhyka Muttaqin, S.AP

Tuesday, October 21, 2008

PILKADAL ANTARA SOLUSI ATAUKAH BENCANA
Oleh : Andhyka Muttaqin*
Fenomena yang yang ada di Indonesia sangat lucu sekali salah satunya adalah PILKADAL atau Pilnya Kadal. Ironis melihat fenomena yang terjadi belakangan ini apakah ini bentuk yang dinamakan Demokrasi? Omong kosong dengan demokrasi apalagi yang di gembor-gemborkan Reformasi atau repot nasi repot segala-galanya lucu sekali mau dibawa kemana bangsa Indonesia ini? Pilkadal adalah ajang untuk menyalurkan aspirasi secara langsung dengan memilih calon sesuai dengan keinginannya masing-masing, dengan adanya Pilkadal malah muncul raja-raja kecil didaerah yang menyebabkan tidak sehatnya dalam hal berpolitik.
Munculnya raja-raja kecil tersebut menyebabkan apa yang diinginkan oleh undang-undang dengan jujur dan adil dengan pilkadal maka partisipasi dari masyarakat meningkat tetapi kenyataanya bukan partisipasi masyarakat yang meningkat tetapi mobilisasi masa yang terjadi untuk memenangkan pesta rakyat tersebut yang bernama pilkadal. Akhirnya yang terjadi adalah kerusuhan, sabotase pembunuhan karakter dan lain sebagainya. Sebenarnya siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah pembuat kebijakan yang menggagas system tersebut, undang-undang sudah jelas yaitu UU No.32 tahun 2004 pertanyaan mendasar apakah kebijakan tersebut sudah relevan ataukah memang masyarakat yang tidak paham dengan hal itu atau malah masyarakat yang dimanfaatkan dalam hal ini.
Kebijakan publik apapun sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1986) dalam Wahab (2005, h.62) membagi pengertian kegagalan kebijakan dalam dua kategori, yaitu:
1. Kegagalan kebijakan akibat tidak terimplementasikan (non implementasikan), artinya suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin dikarenakan pihak-pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kekuasaannya sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi.
2. Kegagalan kebijakan akibat implementasi yang tidak berhasil (unsuccessfull implementation) yaitu terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternel ternyata tidak menguntungkan (semisal tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam, dan sebagainya) kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.
Sebuah kebijakan publik biasanya memiliki resiko kegagalan disebabkan oleh faktor-faktor seperti pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), atau kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck) (Abdul Wahab, 2005:62). Dengan memperhatikan faktor-faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kesuksesan atau kegagalan suatu kebijakan para pembuat kebijakan akan mengetahui sejauh mana keberhasilan atau malah kegagalan yang dicapai…..tanya kenapa? Jawabnya Tanya saja pada rumput yang bergoyang.
Merujuk pada pendapat tersebut bahwa dalam membuat kebijakan tidaklah mudah tetapi butuh kecermatan. Kebijakan itu di buat untuk menyelesaikan masalah bukan malah menimbulkan masalah baru, yang terpenting adalah mencari apa tho akar masalah dari itu semua dalam hal ini adalah pilkadal. Ada sebuah pendapat yang fenomenal dan itu akan membuka para pembuat suatu kebijakan.“Keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah memerlukan penemuan solusi yang tepat terhadap masalah yang juga tepat. Kita lebih sering gagal karena kita memecahkan suatu masalah yang salah daripada menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang tepat.” _Russel L Ackoff, Redesigning the Future: A Systems Approach to Societal Problems (1974)_
Rakyat Indonesia seharusnya menangis bukan malah pura-pura menengis agar banyak orang kasihan merenunglah kita sedang dilanda carut marut kegagalan kebijakan yang tidak jelas arah tujuannya kemana. Dalam tulisan ini tidak ada kesimpulan yang bisa menyimpulkan adalah orang yang perduli dengan Indonesia.



*Mahasiswa S-2 FISIPOL Jurusan Administrasi Negara Universitas Gajah Mada

Wednesday, October 15, 2008