REFORMASI BIROKRASI
SEBAGAI SARANA UNTUK PEMBERANTASAN KORUPSI
DI INDONESIA
oleh : Andhyka Muttaqin *
I. Pendahuluan
Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Disamping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi (clean government) dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governce). Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan.
Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan korupsi juga ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang pertu diperhitungkan dalam kebijakan “reformasi birokrasi” adalah komitmen, kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan negara - baik unsur aparatur negara maupun warga negara dalam mewujudkan clean government dan good governance, serta dalam mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam negara dan bermasyarakat bangsa. Yang perlu diingat adalah bahwa semuanya itu berada dan berlangsung dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI), dan masing-masing memiliki tanggung jawab dalam mengemban perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan NKRl. Dapatkah kita memikul tanggung jawab tersebut?
Topik yang dibahas dalam tulisan ini adalah “Reformasi Birokrasi Sebagai Sarana Untuk Pemberantasan Korupsi Di Indonesia”. Topik tersebut menunjukkan birokrasi merupakan faktor atau pun aktor utama baik dalam terjadinya korupsi maupun dalam upaya pencegahan ataupun pemberantasan korupsi, meskipun kita mengetahui bahwa masalah korupsi bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi, tetapi juga berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan “reformasi birokrasi” ini sekalipun secara konseptual kita dapat membatasi masalah korupsi dalam lingkup “urusan-urusan publik yang ditangani birokrasi”, namun secara aktual, interaksi birokrasi dengan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan. Dalam hubungan “interaksi dengan publik utamanya dalam pelayanan publik” itulah korupsi bisa berkembang pada kedua pihak, dalam dan antar birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat, dengan jenjang yang panjang dan menyeluruh. Sebab itu, usaha pemberantasan korupsi perlu dilihat dalam konteks “reformasi birokrasi”, bahkan dalam rangka “reformasi sistem administrasi negara” secara keseluruhan. Dalam hubungan itu, agenda utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah: terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas korupsi, peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara, berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari etika, semangat pelayanan dan pertanggung jawaban publik, serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Dalam hubungan tersebut, dari sudut disiplin dan sistem administrasi, negara good governance dapat dipandang merupakan paradigma yang antara lain berisikan konsep yang mencakup 3 (tiga) aktor utama, yaitu pemerintahan negara dimana birokrasi termasuk di dalamnya, dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha negara), dan masyarakat. Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa tersebut memiliki posisi, peran, tanggung jawab, dan kemampuan yang diperlukan untuk suatu proses pembangunan yang dinamis dan berkelanjutan. Dalam konsep good governance ketiga aktor dalam sistem administrasi negara tersebut ditempatkan sebagai mitra yang setara. Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan, serta memudarkan masa depan bangsa. Dalam hubungan itu, korupsi tidak hanya mengandung pengertian penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan asset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja atau pun terpaksa.
Kesulitan paling besar untuk mempercepat solusi permasalahan bangsa Indonesia disebabkan oleh minimnya komitmen politik dan kompetensi untuk melakukan reformasi birokrasi. Bahkan birokrasi masih belum dianggap sebagai faktor kunci penggerak pembangunan bangsa. Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang syarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Sehingga dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Politik reformasi birokrasi adalah kepemimpinan politik yang kuat terhadap visi, komitmen, dan kompetensi untuk menjadikan birokrasi yang baik, bersih, dan berwibawa. Kepemimpinan politik yang kuat merupakan faktor terpenting keberhasilan reformasi birokrasi. Oleh karena itu, reformasi birokrasi tidak mudah dilakukan. Politik reformasi birokrasi adalah hal yang kompleks karena melibatkan kepentingan politik dalam birokrasi. Padahal dalam berbagai praktik dan teori, reformasi birokrasi adalah proses politik yang membutuhkan dukungan politik dari para pejabat politik yang dipilih (elected official).
II. Tinjauan Teoritis
a) Reformasi Birokrasi
Evers (1987) mengelompokkan birokrasi ke dalam 3 pola, (a) Weberisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat; (b) Parkinsonisasi yang melihat birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri dan (c) Orwelisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau perlu dengan paksaan (Soesilo Zauhar, 2006). Ada beberapa alasan kenapa bentuk ideal birokrasi rasional jarang (tidak) nampak dalam praktek sehari-hari. Pertama, manusia maujud tidak hanya untuk organisasi, kedua, birokrasi tidak kebal terhadap perubahan, Ketiga, birokrasi dirancang memang untuk untuk orang "rasional", sehingga dalam realitas mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk fungsi keseharian organisasi (Perrow, 1979). Atas dasar itu maka Bendix (1957) berkesimpulan bahwa birokrasi rasional lebih cocok dan dapat hidup di negeri barat daripada di negeri timur (Soesilo Zauhar, 2006)
Eisenstadt (1959) telah mengelompokkan gagasan birokrasi ke dalam 2 pandangan, yaitu:
1. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mewujudkan lesan-lesan tertentu;
2. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat untuk mempeoleh, mempertahankan danmelaksanakan kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (agent of change ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsive (Agus Suryono, 2005)
Dalam menyusun arah reformasi birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya perubahan lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarakat universal, seperti yang dikemukakan berikut ini
Secara sederhana reformasi birokrasi dapat disimpulkan oleh Jocelyne Bourgon dalam artikelnya yang berjudul A comprehensive framework for public administration reforms adalah sebagai berikut :
1) Issues related to the management of the organizational structure, that is the types of organizations to be used, and the distribution of activities and responsibilities across public administration bodies.
2) Issues related to the management of the public administration network, and especially the management of contractual relations and of public procurement of services.
3) Issues related to the management of human resources, taking the heterogeneity of activities and organizations into account, and focusing on performance issues.
4) Issues related to the management of information flows and resources, and including the protection of the integrity of citizens and enterprises.
5) Issues related to the management of citizen relations and citizen involvement in the deliberations of governments and public administrations
6) Issues related to the management of trust and confidence, including transparency, access to information, and conflicts of interest.
b) Teori Korupsi
Robert Merton terkenal dengan "meansends schema." Menurut teori ini korupsi merupakan suatu kelakuan manusia yang diakibatkan oleh tekanan social sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Semua sistem sosial mempunyai tujuan. Manusia berupaya untuk mencapai tujuan melalui cara-cara (means) yang telah disepakati. Inilah norma-norma lembaga yang dikenal di dalam masyarakat. Sebagaimana biasanya banyak orang mengikutinya, mereka adalah golongan kompromis. Namun demikian sistem sosial juga menyebabkan tekanan terhadap banyak orang yang tidak mempunyai akses atau kesempatan di dalam struktur tersebut karena pembatasanpembatasan atau diskriminasi rasial, etnis, keterampilan, kapital, dan sumber-sumber lainnya. Golongan ini kemudian berupaya mencari berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan di dalam masyarakat.
Teori Edward Banfeld ini terutama ditekankan kepada keterikatan yang terlalu dekat kepada keluarga. Korupsi merupakan suatu ekspresi dari partikularisme. Sikap partikularisme ialah suatu perasaan kewajiban untuk membantu, membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi yang dekat pada seseorang. Bantuan tersebut merupakan suatu kewajiban personal kepada keluarga atau kepada sahabat atau kepada anggota kelompokya.
Robert Klitgaard merumuskan korupsi secara sederhana: C = M + D – A Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability atau korupsi terjadi bila ada monopoli kekuasaan dan kewenangan, tetapi tanpa akuntabilitas.
UU No.31/1999 jo. UU No.20/2001, menyebutkan bahwa pengertian korupsi setidaknya mencakup perbuatan :
1. Melawan hukum, memperkaya diri, orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 2)
2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 3)
3. Kelompok delik penyuapan (Pasal 5,6,11)
4. Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (Pasal 8,9,10)
5. Delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12)
6. Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7)
7. Delik Gratifikasi (Pasal 12B,12C)
III. Tinjauan Empirik
Sejarah korupsi di Indonesia pada dasarnya telah ada sejak zaman kolonial Belanda dengan adanya kasus korupsi yang dilakukan VOC pada masa itu. Hal tersebut bukan hanya sebuah dongeng tetapi bukti yang nyata-nyata ada dalam sejarah kelam penjajahan di Indonesia yang sampai sekarang warisan/peninggalannya ( budaya korupsi) telah mengakar rumput sampai kepada generasi yang diharapkan menjadi pembaharu serta pemimpin-pemimpin perubah kearah yang lebih baik. Dengan dasar ini maka penulis hendak memaparkan urutan sejarah upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu sebagai berikut
Dalam perjalanannya sejarah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia membuktikan bahwa korupsi sangatlah sulit untuk diberantas. Penyebab umum kegagalan atau kekurangmaksimalan dari upaya-upaya tersebut antara lain karena: (1) komponen atau sarana yang disediakan untuk pencegahan korupsi kurang memenuhi standar efektifitas kinerja objeknya, sehingga hasil yang diharapkan tidak sesuai target; (2) tidak ada konsistensi dari pelaksana tindak pidana korupsi, sehingga upaya yang telah dirancang dengan matang akhirnya (lagi-lagi) berhenti di tengah jalan; (3) system-sistem SDM serta keuangan yang ada tidak diarahkan untuk mendukung kinerja praktek pencegahan dan pemberantasan korupsi, sehingga ada tumpang tindih dan gap informasi antara aturan dan pelaksanaannya.
Secara umum strategi pemberantasan korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Korupsi adalah permasalahan sistemik dalam suatu negara, yang merupakan bentuk kegagalan dari penyelenggaraan pemerintahan รจ National Integrity System.
b. “Sistem Integritas Nasional” terdiri dari institusi dalam semua sektor (publik, swasta dan sektor ketiga) suatu negara, peran dan fungsinya dilaksanakan dengan standar tinggi dalam efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, sehingga satu dengan lainnya saling mendukung untuk menjaga standar tinggi tersebut dan tingkat korupsi yang rendah.
c. Mencerminkan konsep akuntabilitas horizontal: satu sektor menjadi “watchdog” bagi institusi lainnya
SEBAGAI SARANA UNTUK PEMBERANTASAN KORUPSI
DI INDONESIA
oleh : Andhyka Muttaqin *
I. Pendahuluan
Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Disamping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi (clean government) dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governce). Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan.
Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan korupsi juga ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang pertu diperhitungkan dalam kebijakan “reformasi birokrasi” adalah komitmen, kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan negara - baik unsur aparatur negara maupun warga negara dalam mewujudkan clean government dan good governance, serta dalam mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam negara dan bermasyarakat bangsa. Yang perlu diingat adalah bahwa semuanya itu berada dan berlangsung dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI), dan masing-masing memiliki tanggung jawab dalam mengemban perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan NKRl. Dapatkah kita memikul tanggung jawab tersebut?
Topik yang dibahas dalam tulisan ini adalah “Reformasi Birokrasi Sebagai Sarana Untuk Pemberantasan Korupsi Di Indonesia”. Topik tersebut menunjukkan birokrasi merupakan faktor atau pun aktor utama baik dalam terjadinya korupsi maupun dalam upaya pencegahan ataupun pemberantasan korupsi, meskipun kita mengetahui bahwa masalah korupsi bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi, tetapi juga berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan “reformasi birokrasi” ini sekalipun secara konseptual kita dapat membatasi masalah korupsi dalam lingkup “urusan-urusan publik yang ditangani birokrasi”, namun secara aktual, interaksi birokrasi dengan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan. Dalam hubungan “interaksi dengan publik utamanya dalam pelayanan publik” itulah korupsi bisa berkembang pada kedua pihak, dalam dan antar birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat, dengan jenjang yang panjang dan menyeluruh. Sebab itu, usaha pemberantasan korupsi perlu dilihat dalam konteks “reformasi birokrasi”, bahkan dalam rangka “reformasi sistem administrasi negara” secara keseluruhan. Dalam hubungan itu, agenda utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah: terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas korupsi, peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara, berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari etika, semangat pelayanan dan pertanggung jawaban publik, serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Dalam hubungan tersebut, dari sudut disiplin dan sistem administrasi, negara good governance dapat dipandang merupakan paradigma yang antara lain berisikan konsep yang mencakup 3 (tiga) aktor utama, yaitu pemerintahan negara dimana birokrasi termasuk di dalamnya, dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha negara), dan masyarakat. Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa tersebut memiliki posisi, peran, tanggung jawab, dan kemampuan yang diperlukan untuk suatu proses pembangunan yang dinamis dan berkelanjutan. Dalam konsep good governance ketiga aktor dalam sistem administrasi negara tersebut ditempatkan sebagai mitra yang setara. Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan, serta memudarkan masa depan bangsa. Dalam hubungan itu, korupsi tidak hanya mengandung pengertian penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan asset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja atau pun terpaksa.
Kesulitan paling besar untuk mempercepat solusi permasalahan bangsa Indonesia disebabkan oleh minimnya komitmen politik dan kompetensi untuk melakukan reformasi birokrasi. Bahkan birokrasi masih belum dianggap sebagai faktor kunci penggerak pembangunan bangsa. Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang syarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Sehingga dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Politik reformasi birokrasi adalah kepemimpinan politik yang kuat terhadap visi, komitmen, dan kompetensi untuk menjadikan birokrasi yang baik, bersih, dan berwibawa. Kepemimpinan politik yang kuat merupakan faktor terpenting keberhasilan reformasi birokrasi. Oleh karena itu, reformasi birokrasi tidak mudah dilakukan. Politik reformasi birokrasi adalah hal yang kompleks karena melibatkan kepentingan politik dalam birokrasi. Padahal dalam berbagai praktik dan teori, reformasi birokrasi adalah proses politik yang membutuhkan dukungan politik dari para pejabat politik yang dipilih (elected official).
II. Tinjauan Teoritis
a) Reformasi Birokrasi
Evers (1987) mengelompokkan birokrasi ke dalam 3 pola, (a) Weberisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintah dan aparat; (b) Parkinsonisasi yang melihat birokratisasi sebagai pertumbuhan atau membengkaknya jumlah pegawai negeri dan (c) Orwelisasi yang memandang birokratisasi sebagai proses memperluas kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat dengan regulasi dan kalau perlu dengan paksaan (Soesilo Zauhar, 2006). Ada beberapa alasan kenapa bentuk ideal birokrasi rasional jarang (tidak) nampak dalam praktek sehari-hari. Pertama, manusia maujud tidak hanya untuk organisasi, kedua, birokrasi tidak kebal terhadap perubahan, Ketiga, birokrasi dirancang memang untuk untuk orang "rasional", sehingga dalam realitas mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk fungsi keseharian organisasi (Perrow, 1979). Atas dasar itu maka Bendix (1957) berkesimpulan bahwa birokrasi rasional lebih cocok dan dapat hidup di negeri barat daripada di negeri timur (Soesilo Zauhar, 2006)
Eisenstadt (1959) telah mengelompokkan gagasan birokrasi ke dalam 2 pandangan, yaitu:
1. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mewujudkan lesan-lesan tertentu;
2. Gagasan tentang birokrasi sebagai alat untuk mempeoleh, mempertahankan danmelaksanakan kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (agent of change ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsive (Agus Suryono, 2005)
Dalam menyusun arah reformasi birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya perubahan lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarakat universal, seperti yang dikemukakan berikut ini
Secara sederhana reformasi birokrasi dapat disimpulkan oleh Jocelyne Bourgon dalam artikelnya yang berjudul A comprehensive framework for public administration reforms adalah sebagai berikut :
1) Issues related to the management of the organizational structure, that is the types of organizations to be used, and the distribution of activities and responsibilities across public administration bodies.
2) Issues related to the management of the public administration network, and especially the management of contractual relations and of public procurement of services.
3) Issues related to the management of human resources, taking the heterogeneity of activities and organizations into account, and focusing on performance issues.
4) Issues related to the management of information flows and resources, and including the protection of the integrity of citizens and enterprises.
5) Issues related to the management of citizen relations and citizen involvement in the deliberations of governments and public administrations
6) Issues related to the management of trust and confidence, including transparency, access to information, and conflicts of interest.
b) Teori Korupsi
Robert Merton terkenal dengan "meansends schema." Menurut teori ini korupsi merupakan suatu kelakuan manusia yang diakibatkan oleh tekanan social sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Semua sistem sosial mempunyai tujuan. Manusia berupaya untuk mencapai tujuan melalui cara-cara (means) yang telah disepakati. Inilah norma-norma lembaga yang dikenal di dalam masyarakat. Sebagaimana biasanya banyak orang mengikutinya, mereka adalah golongan kompromis. Namun demikian sistem sosial juga menyebabkan tekanan terhadap banyak orang yang tidak mempunyai akses atau kesempatan di dalam struktur tersebut karena pembatasanpembatasan atau diskriminasi rasial, etnis, keterampilan, kapital, dan sumber-sumber lainnya. Golongan ini kemudian berupaya mencari berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan di dalam masyarakat.
Teori Edward Banfeld ini terutama ditekankan kepada keterikatan yang terlalu dekat kepada keluarga. Korupsi merupakan suatu ekspresi dari partikularisme. Sikap partikularisme ialah suatu perasaan kewajiban untuk membantu, membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi yang dekat pada seseorang. Bantuan tersebut merupakan suatu kewajiban personal kepada keluarga atau kepada sahabat atau kepada anggota kelompokya.
Robert Klitgaard merumuskan korupsi secara sederhana: C = M + D – A Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability atau korupsi terjadi bila ada monopoli kekuasaan dan kewenangan, tetapi tanpa akuntabilitas.
UU No.31/1999 jo. UU No.20/2001, menyebutkan bahwa pengertian korupsi setidaknya mencakup perbuatan :
1. Melawan hukum, memperkaya diri, orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 2)
2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 3)
3. Kelompok delik penyuapan (Pasal 5,6,11)
4. Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (Pasal 8,9,10)
5. Delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12)
6. Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7)
7. Delik Gratifikasi (Pasal 12B,12C)
III. Tinjauan Empirik
Sejarah korupsi di Indonesia pada dasarnya telah ada sejak zaman kolonial Belanda dengan adanya kasus korupsi yang dilakukan VOC pada masa itu. Hal tersebut bukan hanya sebuah dongeng tetapi bukti yang nyata-nyata ada dalam sejarah kelam penjajahan di Indonesia yang sampai sekarang warisan/peninggalannya ( budaya korupsi) telah mengakar rumput sampai kepada generasi yang diharapkan menjadi pembaharu serta pemimpin-pemimpin perubah kearah yang lebih baik. Dengan dasar ini maka penulis hendak memaparkan urutan sejarah upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu sebagai berikut
Dalam perjalanannya sejarah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia membuktikan bahwa korupsi sangatlah sulit untuk diberantas. Penyebab umum kegagalan atau kekurangmaksimalan dari upaya-upaya tersebut antara lain karena: (1) komponen atau sarana yang disediakan untuk pencegahan korupsi kurang memenuhi standar efektifitas kinerja objeknya, sehingga hasil yang diharapkan tidak sesuai target; (2) tidak ada konsistensi dari pelaksana tindak pidana korupsi, sehingga upaya yang telah dirancang dengan matang akhirnya (lagi-lagi) berhenti di tengah jalan; (3) system-sistem SDM serta keuangan yang ada tidak diarahkan untuk mendukung kinerja praktek pencegahan dan pemberantasan korupsi, sehingga ada tumpang tindih dan gap informasi antara aturan dan pelaksanaannya.
Secara umum strategi pemberantasan korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Korupsi adalah permasalahan sistemik dalam suatu negara, yang merupakan bentuk kegagalan dari penyelenggaraan pemerintahan รจ National Integrity System.
b. “Sistem Integritas Nasional” terdiri dari institusi dalam semua sektor (publik, swasta dan sektor ketiga) suatu negara, peran dan fungsinya dilaksanakan dengan standar tinggi dalam efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, sehingga satu dengan lainnya saling mendukung untuk menjaga standar tinggi tersebut dan tingkat korupsi yang rendah.
c. Mencerminkan konsep akuntabilitas horizontal: satu sektor menjadi “watchdog” bagi institusi lainnya
IV Penutup
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan Negara terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.
Langkah internal:
1. Meluruskan orientasi
Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2. Memperkuat komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
3. Membangun kultur baru
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
4. Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.
5. Memperkuat payung hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan.
6. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
7. Reformasi birokrasi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah perlu dilakukan:
a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai.
Karena selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah dimulai dan harus terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan dalam sumber daya lokal, maka power sharing mudah dilakukan tapi reventte sharing lebih sulit dilakukan.
c) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena banyak urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta berperan sebagai pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan profesionalitas.
Langkah eksternal:
1. Komitmen dan keteladanan elit politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
2. Pengawasan masyarakat
Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi.
Daftar Referensi
Makalah Seminar Anti Korupsi UNPAD Bandung oleh Erry Riana Hardjapamekas (Transparency International lndonesia)
International Review of Administrative Sciences A comprehensive framework for public administration reforms: a reply to Jocelyne Bourgon
Gifford and Pinchot, Elizabeth, The End of Bureaucracy and The Rise of The Intelligent Organization, San Fransisco: Barret-Koehler Publishers, 1993
Jurnal Transparansi , Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, edisi 18 Maret 2000
Osborne dan Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta; Pustaka Binaman Pressindo, 1995
Fredickson, George, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey Bass, 1997
Makalah Seminar Anti Korupsi oleh Yesmil Anwar, S.H., M.Si disampaikan pada seminar anti korupsi di UNPAD Bandung 2006
Jurnal Administrasi Publik Budaya Birokrasi Pelayanan Public oleh : Drs. Agus Suryono. MS
*Kandidat Master Public Admnistration FISIPOL Gadjah Mada University
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan Negara terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.
Langkah internal:
1. Meluruskan orientasi
Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2. Memperkuat komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
3. Membangun kultur baru
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
4. Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.
5. Memperkuat payung hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan.
6. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
7. Reformasi birokrasi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah perlu dilakukan:
a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai.
Karena selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah dimulai dan harus terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan dalam sumber daya lokal, maka power sharing mudah dilakukan tapi reventte sharing lebih sulit dilakukan.
c) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena banyak urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta berperan sebagai pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan profesionalitas.
Langkah eksternal:
1. Komitmen dan keteladanan elit politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
2. Pengawasan masyarakat
Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi.
Daftar Referensi
Makalah Seminar Anti Korupsi UNPAD Bandung oleh Erry Riana Hardjapamekas (Transparency International lndonesia)
International Review of Administrative Sciences A comprehensive framework for public administration reforms: a reply to Jocelyne Bourgon
Gifford and Pinchot, Elizabeth, The End of Bureaucracy and The Rise of The Intelligent Organization, San Fransisco: Barret-Koehler Publishers, 1993
Jurnal Transparansi , Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, edisi 18 Maret 2000
Osborne dan Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta; Pustaka Binaman Pressindo, 1995
Fredickson, George, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey Bass, 1997
Makalah Seminar Anti Korupsi oleh Yesmil Anwar, S.H., M.Si disampaikan pada seminar anti korupsi di UNPAD Bandung 2006
Jurnal Administrasi Publik Budaya Birokrasi Pelayanan Public oleh : Drs. Agus Suryono. MS
*Kandidat Master Public Admnistration FISIPOL Gadjah Mada University