MELURUSKAN DIKOTOMI AGAMA DAN POLITIK
(Bantahan Tuntas Terhadap Sekulerisme dan Liberalisme)
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Bab I Penjelasan tentang Dua Istilah Kunci; Agama dan Politik
- Definisi kata “Ad-din”
Ø Secara etimologi, menurut bahasa arab, kata ad-din mengisyaratkan adanya ikatan dua pihak, bagi pihak pertama berupa kepatuhan atau ketaatan, sedangkan bagi pihak kedua bersifat perintah dan kekuasaan atau hukum kewajiban.
Ø Secara terminologi, kata ad-din berarti hukum Tuhan yang diberlakukan untuk orang2 yang berakal sehat agar mereka mendapatkan kebaikan pada saat sekarang dan memperoleh kebahagiaan di masa datang sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
Ø Ad-din bermakna:
- balasan (QS. Al-Fatihah:4)
- ketaatan (QS. An-Nisa:146)
- keyakinan yang dianut suatu kelompok walaupun keyakinan tersebut sesat (QS.al-Kafirun:6)
- Definisi kata “As-Siyasah” (Politik)
Ø Secara etimologi, menurut bahasa arab, kata as-siyasah bermakna mengatur atau memimpin.
Ø Secara terminologi, kata as-siyasah berarti segala aktifitas manusia yang berkaitan dengan penyelesaian konflik dan menciptakan keamanan bagi masyarakat. Dalam Al-Mu’jam Al-Qanuni kata as-siyasah diartikan sebagai “Dasar-dasar atau disiplin ilmu yang membahas tentang cara mengatur berbagai persoalan yang bersifat umum.
Kata as-siyasah tidak terdapat dalam Al-Qur’an, baik dalam ayat-ayat Makkiyah maupun Madaniyah, bahkan tidak ada satu kata pun yang merupakan derifasi dari kata as-siyasah baik sebagai kata kerja maupun kata sifat. Akan tetapi bukan berarti bahwa Al-Qur’an atau islam tidak berkaitan dengan politik atau tidak punya kepedulian terhadap politik karena seringkali suatu lafadz tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi ditemukan kata lain yang mempunyai kandungan makna yang senada dengan kata tersebut.
Al-Qur’an menggunakan kata dan redaksi yang bermacam-macam untuk mengungkapkan kata politik, baik dengan kata memuji ataupun mencela. Di antaranya Al-Qur’an menyebutkan ada “kerajaan atau kekuasaan yang adil” (An-Nisa:54, Yusuf:101, Yusuf:54, Al-Baqarah:251, Al-Kahfi:84) dan “kerajaan yang dzalim, diktator dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya” (Al-Qashash:4). Ada pula dengan menggunakan redaksi yang bermakna “kedudukan” (Yusuf:56, Al-Haj:41), “kekuasaan” (An-Nur:55, Al-A’raf:129), “Al-hukm atau penetapan hukum/perkara” (An-Nisa:58, Al-Maidah 49-50, Al-Maidah:44,45 dan 47).
Dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih ditemukan sebuah kata yang berasal dari akar kata as-siyasah, yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah. Diceritakan bahwasanya Nabi SAW bersabda,
“Dulu, Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, setiap ada seorang Nabi yang gugur, muncul Nabi lain. Tetapi tidak akan ada lagi Nabi sesudah saya, selanjutnya (kalian akan dipimpin) oleh para khalifah yang berjumlah banyak.”
Para sahabat bertanya kepada beliau, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami:”
Beliau menjawab, “Lakukanlah baiat kepada khalifah pertama, setelah itu baiat khalifah sesudahnya, berikan kepada para khalifah tersebut hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah untuk mereka, sesungguhnya Allah akan menanyakan mereka tentang kepemimpinannya.”
Politik yang Adil Sesuai dengan Tuntunan Syari’at
Ibnul Qayyim berkata, “Politik yang adil tidak bertentangan dengan bunyi ketentuan syari’at, justru politik yang demikian sesuai dengan ajaran yang terkandung didalamnya. Jika dilihat dari karakter dan tanda-tanda lainnya, politik juga bisa disebut sebagai keadilan Allah dan RasulNya.”
Di antara bukti yang ada adalah bahwa Rasulullah SAW melarang prajurit islam mencuri harta rampasan perang bahkan kemudian menyuruh harta benda milik pencuri dan semua orang yang bekerja sama dengannya untuk dibakar. Rasulullah pernah berencana membakar beberapa rumah milik kaum muslimin yang tidak mengerjakan shalat jum’at dan shalat berjama’ah. Beliau juga pernah melipatgandakan denda terhadap orang yang menyembunyikan pelaku sebuah kejahatan. Berkenaan dengan orang yang enggan membayar zakat, Rasulullah bersabda, “Kita tetap akan mengambil zakat dari orang tersebut ditambah separo hartanya (sebagai denda karena pembangkangannya,pentj.) sebagai bentuk pelaksanaan salah satu perintah Allah SWT.”
Demikian juga dengan para sahabat dan pengganti beliau yang hidup sesudahnya, sangat mudah ditemukan oleh orang yang ingin mengetahui tindakan-tindakan mereka yang bermuatan politis.
Sebut saja ketika Abu Bakar yang membakar para pengikut kaum Nabi Luth (homoseksual,pentj.) dan menyuruh mereka merasakan panasnya api sebelum benar-benar mereka rasakan di akhirat kelak. Demikian juga dengan Umar yang membakar pundi-pundi tempat minuman keras juga membakar kampung yang digunakan sebagai tempat penjualan minuman keras. Umar bahkan pernah memecat para pegawainya kemudian mengambil separo harta mereka untuk diberikan kepada kaum muslimin disebabkan mereka telah memanfaatkan tugas yang diembannya untuk mencari uang. Umar juga pernah memerintahkan para sahabat Nabi untuk mengurangi kesibukan mereka terhadap hadits Nabi, karena kesibukan tersebut menyebabkan mereka sedikit melalaikan Al-Qur’an. Dan masih banyak lagi contoh yang lain.
Politik dalam Perspektif Barat
Saat ini, secara sadar maupun tidak, suka atau tidak, mau atau tidak, banyak lembaga pendidikan kita yang sudah terpengaruh oleh Barat baik budaya maupun pemikirannya. Juga dengan para pemikir dan budayawan kita yang sebagian besar referensinya berasal dari Barat.
Apalagi banyak kajian tentang sosial kemasyarakatan –terutama sosial politik- yang berasal dari Barat. Kebanyakan pemikir hanya mengiblat Barat tanpa disertai kritik dan analisa yang mendalam. Dengan melakukan studi kritik, kita bisa mengikuti ataupun menolak Barat sesuai dengan standar hukum dan norma yang kita yakini, bukan standar dan kriteria Barat.
Banyak definisi politik dari berbagai sudut pandang yang berbeda; seperti pengertian politik menurut aliran liberalisme yang jauh berbeda dengan pengertian politik menurut aliran intervensionalisme. Begitu juga pengertian politik menurut aliran individualism dengan aliran kolektivisme, penganut kapitalisme dengan sosialisme. Namun pada dasarnya, pengertian politik menurut mereka (Barat) hanya berisi seputar pemerintahan, kekuatan, dan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pendapat sebagian dari mereka mengenai politik:
1. Pengertian menurut Morganto, “Politik adalah pertarungan untuk mendapatkan kekuatan dan kekuasaan!”
2. Pengertian menurut Harold Lasswell, “Politik adalah kekuasaan atau wibawa yang dapat menentukan; orang yang berhak mendapatkan apa? Kapan? Dan bagaimana?”
3. Pengertian menurut William Robinson, “Ilmu politik berguna untuk mempelajari tentang kekuasaan dalam masyarakat. Juga berguna untuk mengetahui dasar-dasar kekuasaan, tujuan, target, dan hasil yang akan diperoleh.”
Berikut adalah gambaran sederhana mengenai tujuan akhir politik dilihat dari sudut pandang Islam dan Barat (dengan segala aliran yang ada disana);
Bab II Korelasi Agama dan Politik (Antara Perspektif Ulama dan Kaum Sekularis)
Para pengikut paham Modernis, Marxisme, dan Sekularisme mengatakan bahwa hubungan antara agama dan politik adalah hubungan yang saling berlawanan dan bertentangan. Mereka menganggap agama sebagai lawan dari politik, dan sampai kapan pun keduanya tidak akan pernah bisa bertemu. Mereka menafikan ajaran Islam yang konprehensif. Mereka menginginkan akidah tanpa syari’at, ibadah tanpa muamalah, agama tanpa dunia, dakwah tanpa Negara, dan kebenaran tanpa kekuatan. Sedangkan para pahlawan pembaharu muslim pada masa sekarang, mulai dari Ibnu Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, Al-Maududi di Pakistan dan sebagainya sepakat bahwa syariat Islam mencakup akidah dan syariat, dakwah dan daulah, serta agama dan politik. Mereka bukan hanya berkutat pada teori-teori akan tetapi juga terjun langsung di dalamnya, merasakan pahit dan kejamnya politik, bahkan menjadi korban kekerasan karena mempertahankan konsep ini. Mengapa mereka rela melakukan semua ini, penyebabnya ada tiga hal, yaitu:
1. Ajaran Islam bersifat komprehensif
Ajaran Islam yang disyariatkan oleh Allah, tidak mengabaikan satu aspek pun dalam kehidupan kita. Islam memberikan ketentuan ataupun petunjuk hidup kita karena Islam mencakup seluruh aspek, baik material maupun spiritual serta individu maupun sosial (An-Nahl:89, Al-Baqarah:183 ttg puasa, Al-Baqarah:178 ttg qishash, Al-Baqarah:180 ttg wasiat, Al-Baqarah:216 ttg perang).
Al-Qur’an menggunakan redaksi yang sama untuk menunjukkan ketentuan hokum yang bersifat fardhu, yaitu kata “kutiba ‘alaikum” (diwajibkan atas kamu). Di dalam ayat-ayat tersebut, Allah telah mewajibkan kaum mukminin untuk melaksanakan beberapa perintah Allah, yaitu puasa sebagai salah satu kewajiban berbantuk ibadah ritual; qishash yang merupakan ketentuan syariat berkaitan dengan tindakan kriminal; wasiat yang berhubungan dengan hukum keluarga dan perang yang merupakan persoalan Negara.
2. Islam menolak jika ajaran-ajarannya dipilah-pilah dan dibeda-bedakan
Al-Qur’an sangat keras menolak sikap yang hanya mengikuti sebagian ajarannya seperti yang dilakukan oleh Bani Israil (Al-Baqarah:85). Oleh karena itu Allah menurunkan firman-Nya dalam Al-Baqarah:208 agar manusia memasuki Islam secara kaffah, tidak sepotong-potong, dan dalam Al-Maidah:49 tentang anjuran kepada Rasulullah untuk selalu berbuat adil dalam memutuskan setiap perkara, tidak berdasarkan pada hawa nafsu (keinginan2) manusia supaya beliau jangan sampai dipalingkan dari sebagian hukum-hukum yang telah Allah tetapkan.
3. Hidup tidak bisa dibagi dan dipisah-pisahkan, sama seperti manusia
Kehidupan tidak akan menjadi baik kalau Islam hanya diwujudkan dalam ibadah ritual yang tercermin dari keberadaan masjid-masjid misalnya, dengan mengabaikan aspek yang berkaitan dengan kehidupan lainnya, seperti hukum positif, pemikiran manusia, atau filsafat alam yang dipilih untuk mengarahkan kehidupan ini. Sama sekali tidak benar jika dikatakan bahwa Islam cukup memiliki masjid saja, sementara sekularisme berhak memiliki sekolah, universitas, pengadilan, radio, televisi, media massa, sinema, teater, pasar, jalan raya dan seluruh kehidupan ini.
Demikian juga manusia, dia tidak akan menjadi lebih baik jika hanya memahami agamanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, sementara aspek materi, akal, dan perasaan diserahkan sepenuhnya kepada Negara, bukan kepada agama.
Dikotomi Agama dan Politik
Strategi awal yang dilakukan oleh para sekularis untuk mewujudkan pemikiran mereka adalah mengubah hubungan antara Negara dengan agama sesuai dengan teori yang mereka anut. Mereka memisahkan politik dari agama serta memisahkan agama dari Negara. Mereka juga mempopulerkan ungkapan, “Tidak ada agama di dalam Negara dan tidak ada Negara di dalam agama.” Sebuah ungkapan yang tidak boleh dikaji ulang maupun dikritik secara ilmiah.
Konsep tersebut sebenarnya mengukuti teori Machiaveli yang memisahkan politik dari etika. Ia berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan, boleh menghalalkan segala cara. Pemikiran ini dianut oleh para penindas yang dictator dan selalu menyalahgunakan kekuasaan serta memakai kekerasan untuk melawan rakyatnya, terutama terhadap kalangan oposisi.
Apakah politik semacam ini yang dicita-citakan oleh manusia?
Umat manusia tidak akan menjadi lebih baik kecuali dengan menggunakan sistem politik yang mengikuti norma agama dan kaidah-kaidah etika. Yaitu sistem politik yang konsekuen terhadap pertimbangan baik buruk serta kebenaran dan kebatilan.
Jika dikaitkan dengan agama, politik berarti keadilan bagi rakyat, pemberian hak yang sama, membantu rakyat yang tertindas dan menghukum pelaku kejahatan, mengambil hak rakyat lemah dari yang kuat, memberikan kesempatan yang sama, melindungi rakyat kelas bawah seperti fakir miskin, anak yatim, para perantau, dan yang terpenting memenuhi hak rakyat banyak.
Dalam waktu yang sama, agama akan memberikan dukungan kepada pemerintah untuk selalu berusaha mencapai kebaikan. Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW,
“Tolonglah saudaramu, baik yang berbuat dzalim maupun yang terdzalimi.”
Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami akan menolong saudara kami yang terdzalimi, tapi bagaimana kami harus menolong saudara kami yang berbuat dzalim?”
Rasulullah menjawab, “Cegah dia agar tidak melakukan kezaliman lagi, itulah pertolongan bagi dia.”
Menjauhkan politik dari agama sama dengan menjauhkan politik dari unsur-unsur pembentuk kebaikan dan penolak kejahatan, menjauhkan dari pendorong kebaikan dan ketaqwaan, serta membiarkan politik penuh dengan dosa dan permusuhan.
Pada masa kejayaan Islam, kita lihat umat Islam mengaitkan politiknya dengan agama, mereka mampu menaklukkan banyak Negara, mengalahkan Negara-negara besar dan mampu mendirikan Negara keadilan dan kebenaran dan melengkapinya dengan budaya keilmuan dengan bernaung di bawah bendera Al-Qur’an.
Sama halnya dengan Negara Zionis (Israel) saat ini. Mereka menggunakan agama yahudi untuk mendirikan Negara Israel dan membentuk solidaritas umat yahudi di seluruh pelosok dunia untuk membela negaranya. Begitu juga dengan para sekularis yahudi yang tetap berkeyakinan akan pentingnya peran agama bagi Negara mereka. Demikian halnya dengan presiden Amerika Serikat, George Walker Bush yang seringkali berbicara seolah dia adalah seorang Nabi yang mendapat wahyu Tuhan, dengan mengatakan, “Allah telah menyuruhku untuk menyerang Irak, Allah telah menyuruhku untuk menyerang Afghanistan…”
Mengapa mereka menginginkan kaum muslimin saja yang memisahkan politik dari agama Islam? Atau menjauhkan agama dari unsur-unsur politik? Mereka hanya ingin kaum muslimin terlepas dari rahasia kekuatannya, sayap-sayapnya patah, senjata-senjatanya musnah, selanjutnya kaum muslimin tidak punya daya dan kekuatan sama sekali.
Ibnu Khaldun menulis dalam bukunya “Al-Muqaddimah”, tentang dua jenis masyarakat. Ada masyarakat duniawi semata ada juga masyarakat duniawi yang agamis. Masyarakat jenis kedua lebih utama dan lebih tepat daripada masyarakat jenis pertama. Ibnu Khaldun menulis tentang peran agama dalam kehidupan masyarakat sosial yang tidak lebih kecil dari peran sikap fanatisme (nasionalisme). Jenis masyarakat yang paling ideal bagi sebuah Negara adalah masyarakat yang menggabungkan agama dengan Negara.
Penutup
Dari pemaparan diatas dapat pembedah simpulkan bahwa buku “Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik” karangan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi sangat relevan untuk dijadikan pegangan serta referensi bagi para aktivis terutama bagi mereka yang bergelut di dunia perpolitikan. Dan setelah membaca buku ini diharapkan para pembaca lebih terbuka cakrawala pemikirannya serta lebih memahami kaidah-kaidah politik yang banyak diatur dalam Islam, sehingga siap dan mampu menerapkannya dalam kehidupan berpolitik sehari-hari.
(Bantahan Tuntas Terhadap Sekulerisme dan Liberalisme)
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Bab I Penjelasan tentang Dua Istilah Kunci; Agama dan Politik
- Definisi kata “Ad-din”
Ø Secara etimologi, menurut bahasa arab, kata ad-din mengisyaratkan adanya ikatan dua pihak, bagi pihak pertama berupa kepatuhan atau ketaatan, sedangkan bagi pihak kedua bersifat perintah dan kekuasaan atau hukum kewajiban.
Ø Secara terminologi, kata ad-din berarti hukum Tuhan yang diberlakukan untuk orang2 yang berakal sehat agar mereka mendapatkan kebaikan pada saat sekarang dan memperoleh kebahagiaan di masa datang sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
Ø Ad-din bermakna:
- balasan (QS. Al-Fatihah:4)
- ketaatan (QS. An-Nisa:146)
- keyakinan yang dianut suatu kelompok walaupun keyakinan tersebut sesat (QS.al-Kafirun:6)
- Definisi kata “As-Siyasah” (Politik)
Ø Secara etimologi, menurut bahasa arab, kata as-siyasah bermakna mengatur atau memimpin.
Ø Secara terminologi, kata as-siyasah berarti segala aktifitas manusia yang berkaitan dengan penyelesaian konflik dan menciptakan keamanan bagi masyarakat. Dalam Al-Mu’jam Al-Qanuni kata as-siyasah diartikan sebagai “Dasar-dasar atau disiplin ilmu yang membahas tentang cara mengatur berbagai persoalan yang bersifat umum.
Kata as-siyasah tidak terdapat dalam Al-Qur’an, baik dalam ayat-ayat Makkiyah maupun Madaniyah, bahkan tidak ada satu kata pun yang merupakan derifasi dari kata as-siyasah baik sebagai kata kerja maupun kata sifat. Akan tetapi bukan berarti bahwa Al-Qur’an atau islam tidak berkaitan dengan politik atau tidak punya kepedulian terhadap politik karena seringkali suatu lafadz tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi ditemukan kata lain yang mempunyai kandungan makna yang senada dengan kata tersebut.
Al-Qur’an menggunakan kata dan redaksi yang bermacam-macam untuk mengungkapkan kata politik, baik dengan kata memuji ataupun mencela. Di antaranya Al-Qur’an menyebutkan ada “kerajaan atau kekuasaan yang adil” (An-Nisa:54, Yusuf:101, Yusuf:54, Al-Baqarah:251, Al-Kahfi:84) dan “kerajaan yang dzalim, diktator dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya” (Al-Qashash:4). Ada pula dengan menggunakan redaksi yang bermakna “kedudukan” (Yusuf:56, Al-Haj:41), “kekuasaan” (An-Nur:55, Al-A’raf:129), “Al-hukm atau penetapan hukum/perkara” (An-Nisa:58, Al-Maidah 49-50, Al-Maidah:44,45 dan 47).
Dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih ditemukan sebuah kata yang berasal dari akar kata as-siyasah, yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah. Diceritakan bahwasanya Nabi SAW bersabda,
“Dulu, Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, setiap ada seorang Nabi yang gugur, muncul Nabi lain. Tetapi tidak akan ada lagi Nabi sesudah saya, selanjutnya (kalian akan dipimpin) oleh para khalifah yang berjumlah banyak.”
Para sahabat bertanya kepada beliau, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami:”
Beliau menjawab, “Lakukanlah baiat kepada khalifah pertama, setelah itu baiat khalifah sesudahnya, berikan kepada para khalifah tersebut hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah untuk mereka, sesungguhnya Allah akan menanyakan mereka tentang kepemimpinannya.”
Politik yang Adil Sesuai dengan Tuntunan Syari’at
Ibnul Qayyim berkata, “Politik yang adil tidak bertentangan dengan bunyi ketentuan syari’at, justru politik yang demikian sesuai dengan ajaran yang terkandung didalamnya. Jika dilihat dari karakter dan tanda-tanda lainnya, politik juga bisa disebut sebagai keadilan Allah dan RasulNya.”
Di antara bukti yang ada adalah bahwa Rasulullah SAW melarang prajurit islam mencuri harta rampasan perang bahkan kemudian menyuruh harta benda milik pencuri dan semua orang yang bekerja sama dengannya untuk dibakar. Rasulullah pernah berencana membakar beberapa rumah milik kaum muslimin yang tidak mengerjakan shalat jum’at dan shalat berjama’ah. Beliau juga pernah melipatgandakan denda terhadap orang yang menyembunyikan pelaku sebuah kejahatan. Berkenaan dengan orang yang enggan membayar zakat, Rasulullah bersabda, “Kita tetap akan mengambil zakat dari orang tersebut ditambah separo hartanya (sebagai denda karena pembangkangannya,pentj.) sebagai bentuk pelaksanaan salah satu perintah Allah SWT.”
Demikian juga dengan para sahabat dan pengganti beliau yang hidup sesudahnya, sangat mudah ditemukan oleh orang yang ingin mengetahui tindakan-tindakan mereka yang bermuatan politis.
Sebut saja ketika Abu Bakar yang membakar para pengikut kaum Nabi Luth (homoseksual,pentj.) dan menyuruh mereka merasakan panasnya api sebelum benar-benar mereka rasakan di akhirat kelak. Demikian juga dengan Umar yang membakar pundi-pundi tempat minuman keras juga membakar kampung yang digunakan sebagai tempat penjualan minuman keras. Umar bahkan pernah memecat para pegawainya kemudian mengambil separo harta mereka untuk diberikan kepada kaum muslimin disebabkan mereka telah memanfaatkan tugas yang diembannya untuk mencari uang. Umar juga pernah memerintahkan para sahabat Nabi untuk mengurangi kesibukan mereka terhadap hadits Nabi, karena kesibukan tersebut menyebabkan mereka sedikit melalaikan Al-Qur’an. Dan masih banyak lagi contoh yang lain.
Politik dalam Perspektif Barat
Saat ini, secara sadar maupun tidak, suka atau tidak, mau atau tidak, banyak lembaga pendidikan kita yang sudah terpengaruh oleh Barat baik budaya maupun pemikirannya. Juga dengan para pemikir dan budayawan kita yang sebagian besar referensinya berasal dari Barat.
Apalagi banyak kajian tentang sosial kemasyarakatan –terutama sosial politik- yang berasal dari Barat. Kebanyakan pemikir hanya mengiblat Barat tanpa disertai kritik dan analisa yang mendalam. Dengan melakukan studi kritik, kita bisa mengikuti ataupun menolak Barat sesuai dengan standar hukum dan norma yang kita yakini, bukan standar dan kriteria Barat.
Banyak definisi politik dari berbagai sudut pandang yang berbeda; seperti pengertian politik menurut aliran liberalisme yang jauh berbeda dengan pengertian politik menurut aliran intervensionalisme. Begitu juga pengertian politik menurut aliran individualism dengan aliran kolektivisme, penganut kapitalisme dengan sosialisme. Namun pada dasarnya, pengertian politik menurut mereka (Barat) hanya berisi seputar pemerintahan, kekuatan, dan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pendapat sebagian dari mereka mengenai politik:
1. Pengertian menurut Morganto, “Politik adalah pertarungan untuk mendapatkan kekuatan dan kekuasaan!”
2. Pengertian menurut Harold Lasswell, “Politik adalah kekuasaan atau wibawa yang dapat menentukan; orang yang berhak mendapatkan apa? Kapan? Dan bagaimana?”
3. Pengertian menurut William Robinson, “Ilmu politik berguna untuk mempelajari tentang kekuasaan dalam masyarakat. Juga berguna untuk mengetahui dasar-dasar kekuasaan, tujuan, target, dan hasil yang akan diperoleh.”
Berikut adalah gambaran sederhana mengenai tujuan akhir politik dilihat dari sudut pandang Islam dan Barat (dengan segala aliran yang ada disana);
Bab II Korelasi Agama dan Politik (Antara Perspektif Ulama dan Kaum Sekularis)
Para pengikut paham Modernis, Marxisme, dan Sekularisme mengatakan bahwa hubungan antara agama dan politik adalah hubungan yang saling berlawanan dan bertentangan. Mereka menganggap agama sebagai lawan dari politik, dan sampai kapan pun keduanya tidak akan pernah bisa bertemu. Mereka menafikan ajaran Islam yang konprehensif. Mereka menginginkan akidah tanpa syari’at, ibadah tanpa muamalah, agama tanpa dunia, dakwah tanpa Negara, dan kebenaran tanpa kekuatan. Sedangkan para pahlawan pembaharu muslim pada masa sekarang, mulai dari Ibnu Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, Al-Maududi di Pakistan dan sebagainya sepakat bahwa syariat Islam mencakup akidah dan syariat, dakwah dan daulah, serta agama dan politik. Mereka bukan hanya berkutat pada teori-teori akan tetapi juga terjun langsung di dalamnya, merasakan pahit dan kejamnya politik, bahkan menjadi korban kekerasan karena mempertahankan konsep ini. Mengapa mereka rela melakukan semua ini, penyebabnya ada tiga hal, yaitu:
1. Ajaran Islam bersifat komprehensif
Ajaran Islam yang disyariatkan oleh Allah, tidak mengabaikan satu aspek pun dalam kehidupan kita. Islam memberikan ketentuan ataupun petunjuk hidup kita karena Islam mencakup seluruh aspek, baik material maupun spiritual serta individu maupun sosial (An-Nahl:89, Al-Baqarah:183 ttg puasa, Al-Baqarah:178 ttg qishash, Al-Baqarah:180 ttg wasiat, Al-Baqarah:216 ttg perang).
Al-Qur’an menggunakan redaksi yang sama untuk menunjukkan ketentuan hokum yang bersifat fardhu, yaitu kata “kutiba ‘alaikum” (diwajibkan atas kamu). Di dalam ayat-ayat tersebut, Allah telah mewajibkan kaum mukminin untuk melaksanakan beberapa perintah Allah, yaitu puasa sebagai salah satu kewajiban berbantuk ibadah ritual; qishash yang merupakan ketentuan syariat berkaitan dengan tindakan kriminal; wasiat yang berhubungan dengan hukum keluarga dan perang yang merupakan persoalan Negara.
2. Islam menolak jika ajaran-ajarannya dipilah-pilah dan dibeda-bedakan
Al-Qur’an sangat keras menolak sikap yang hanya mengikuti sebagian ajarannya seperti yang dilakukan oleh Bani Israil (Al-Baqarah:85). Oleh karena itu Allah menurunkan firman-Nya dalam Al-Baqarah:208 agar manusia memasuki Islam secara kaffah, tidak sepotong-potong, dan dalam Al-Maidah:49 tentang anjuran kepada Rasulullah untuk selalu berbuat adil dalam memutuskan setiap perkara, tidak berdasarkan pada hawa nafsu (keinginan2) manusia supaya beliau jangan sampai dipalingkan dari sebagian hukum-hukum yang telah Allah tetapkan.
3. Hidup tidak bisa dibagi dan dipisah-pisahkan, sama seperti manusia
Kehidupan tidak akan menjadi baik kalau Islam hanya diwujudkan dalam ibadah ritual yang tercermin dari keberadaan masjid-masjid misalnya, dengan mengabaikan aspek yang berkaitan dengan kehidupan lainnya, seperti hukum positif, pemikiran manusia, atau filsafat alam yang dipilih untuk mengarahkan kehidupan ini. Sama sekali tidak benar jika dikatakan bahwa Islam cukup memiliki masjid saja, sementara sekularisme berhak memiliki sekolah, universitas, pengadilan, radio, televisi, media massa, sinema, teater, pasar, jalan raya dan seluruh kehidupan ini.
Demikian juga manusia, dia tidak akan menjadi lebih baik jika hanya memahami agamanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, sementara aspek materi, akal, dan perasaan diserahkan sepenuhnya kepada Negara, bukan kepada agama.
Dikotomi Agama dan Politik
Strategi awal yang dilakukan oleh para sekularis untuk mewujudkan pemikiran mereka adalah mengubah hubungan antara Negara dengan agama sesuai dengan teori yang mereka anut. Mereka memisahkan politik dari agama serta memisahkan agama dari Negara. Mereka juga mempopulerkan ungkapan, “Tidak ada agama di dalam Negara dan tidak ada Negara di dalam agama.” Sebuah ungkapan yang tidak boleh dikaji ulang maupun dikritik secara ilmiah.
Konsep tersebut sebenarnya mengukuti teori Machiaveli yang memisahkan politik dari etika. Ia berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan, boleh menghalalkan segala cara. Pemikiran ini dianut oleh para penindas yang dictator dan selalu menyalahgunakan kekuasaan serta memakai kekerasan untuk melawan rakyatnya, terutama terhadap kalangan oposisi.
Apakah politik semacam ini yang dicita-citakan oleh manusia?
Umat manusia tidak akan menjadi lebih baik kecuali dengan menggunakan sistem politik yang mengikuti norma agama dan kaidah-kaidah etika. Yaitu sistem politik yang konsekuen terhadap pertimbangan baik buruk serta kebenaran dan kebatilan.
Jika dikaitkan dengan agama, politik berarti keadilan bagi rakyat, pemberian hak yang sama, membantu rakyat yang tertindas dan menghukum pelaku kejahatan, mengambil hak rakyat lemah dari yang kuat, memberikan kesempatan yang sama, melindungi rakyat kelas bawah seperti fakir miskin, anak yatim, para perantau, dan yang terpenting memenuhi hak rakyat banyak.
Dalam waktu yang sama, agama akan memberikan dukungan kepada pemerintah untuk selalu berusaha mencapai kebaikan. Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW,
“Tolonglah saudaramu, baik yang berbuat dzalim maupun yang terdzalimi.”
Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami akan menolong saudara kami yang terdzalimi, tapi bagaimana kami harus menolong saudara kami yang berbuat dzalim?”
Rasulullah menjawab, “Cegah dia agar tidak melakukan kezaliman lagi, itulah pertolongan bagi dia.”
Menjauhkan politik dari agama sama dengan menjauhkan politik dari unsur-unsur pembentuk kebaikan dan penolak kejahatan, menjauhkan dari pendorong kebaikan dan ketaqwaan, serta membiarkan politik penuh dengan dosa dan permusuhan.
Pada masa kejayaan Islam, kita lihat umat Islam mengaitkan politiknya dengan agama, mereka mampu menaklukkan banyak Negara, mengalahkan Negara-negara besar dan mampu mendirikan Negara keadilan dan kebenaran dan melengkapinya dengan budaya keilmuan dengan bernaung di bawah bendera Al-Qur’an.
Sama halnya dengan Negara Zionis (Israel) saat ini. Mereka menggunakan agama yahudi untuk mendirikan Negara Israel dan membentuk solidaritas umat yahudi di seluruh pelosok dunia untuk membela negaranya. Begitu juga dengan para sekularis yahudi yang tetap berkeyakinan akan pentingnya peran agama bagi Negara mereka. Demikian halnya dengan presiden Amerika Serikat, George Walker Bush yang seringkali berbicara seolah dia adalah seorang Nabi yang mendapat wahyu Tuhan, dengan mengatakan, “Allah telah menyuruhku untuk menyerang Irak, Allah telah menyuruhku untuk menyerang Afghanistan…”
Mengapa mereka menginginkan kaum muslimin saja yang memisahkan politik dari agama Islam? Atau menjauhkan agama dari unsur-unsur politik? Mereka hanya ingin kaum muslimin terlepas dari rahasia kekuatannya, sayap-sayapnya patah, senjata-senjatanya musnah, selanjutnya kaum muslimin tidak punya daya dan kekuatan sama sekali.
Ibnu Khaldun menulis dalam bukunya “Al-Muqaddimah”, tentang dua jenis masyarakat. Ada masyarakat duniawi semata ada juga masyarakat duniawi yang agamis. Masyarakat jenis kedua lebih utama dan lebih tepat daripada masyarakat jenis pertama. Ibnu Khaldun menulis tentang peran agama dalam kehidupan masyarakat sosial yang tidak lebih kecil dari peran sikap fanatisme (nasionalisme). Jenis masyarakat yang paling ideal bagi sebuah Negara adalah masyarakat yang menggabungkan agama dengan Negara.
Penutup
Dari pemaparan diatas dapat pembedah simpulkan bahwa buku “Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik” karangan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi sangat relevan untuk dijadikan pegangan serta referensi bagi para aktivis terutama bagi mereka yang bergelut di dunia perpolitikan. Dan setelah membaca buku ini diharapkan para pembaca lebih terbuka cakrawala pemikirannya serta lebih memahami kaidah-kaidah politik yang banyak diatur dalam Islam, sehingga siap dan mampu menerapkannya dalam kehidupan berpolitik sehari-hari.